Pages

Minggu, 13 Maret 2011

Tiga Alat Penangkap Ilmu Menurut Imam Ghazali

Ilmu adalah penerang (cahaya) agar bisa mengantarkan manusia ke tujuan esensialnya. Dan ilmu diperoleh melalui alat atau sarana yang ada di dalam diri manusia itu sendiri. Kuncinya ada pada kata perintah iqro, yaitu perintah untuk membaca. Dan salah satu yang harus dibaca adalah subjek (atau pelaku) yang mengerjakan amal atau tindakan tertentu.

Dalam upaya memperoleh ilmu, manusia menduduki posisi utama tidak hanya sebagai subjek tetapi juga objek ilmu. Manusia sebagai objek ilmu artinya ialah meneliti kerangka kerja ilmiah yang dihasilkan manusia; dalam posisi ini manusia me-mashdar-kan kerja (amal) yang dilakukannya sehingga bisa ditelusuri potensi-potensi dalam diri manusia yang bisa dijadikan sarana untuk mendapatkan ilmu. Upaya ini sekaligus bisa mempertahankan objektivitas ilmu itu sendiri. Dalam berbagai disiplin ilmu, sekalipun dalam sains modern disadari bahwa, mengetahui potensi-potensi dalam diri manusia sebagai sarana memperoleh ilmu adalah penting dalam upaya mempertahankan objektivitas ilmu itu sendiri.

Potensi-potensi dan alat dalam diri manusia yang capable dijadikan sarana mendapatkan ilmu menurut Imam Ghazali dalam berbagai kitabnya ada tiga : 1) Panca Indera, 2) Akal, dan 3) Intuisi.

1. Panca Indera

Panca indera (hawaasul khamsi) yang terdiri dari indera penglihat (mata), indera pendengar (telinga), indera perasa (lidah), indera pencium (hidung), dan indera peraba (kulit), merupakan sarana penangkap ilmu paling awal yang muncul dalam diri manusia. Semua maojud yang ditemukan oleh hissi ini yang disebut mahsuusaat serta temuan-temuan empiris yang disebut mujarrobaat termasuk dua dari lima pengetahuan a priori (daruri).

Namun temuan hissi memiliki batasan ketika hendak mengungkap maojud yang tidak occupying space, seperti monad-monad (units) yang tidak menempati ruang dan tidak tersentuh (misalnya titik geometris dan elemen untuk ruang; temporal instant dan transisi kinetis untuk waktu dan gerak). Ketika misalnya hendak mengungkap interdependensi ruang-waktu, atau ketika menelaah ketersambungan cause dan effect dalam ruang-waktu tersebut, maka monad-monad tersebut mutlak harus ada. Karena itu, hukum-hukum yang kemudian ditetapkan berdasarkan temuan hissi ini yang disebut hukum kausalitas (hukum ‘adat) harus diuji tidak hanya secara empiris (untuk kepentingan praktis saja) tetapi juga secara metafisis dengan melibatkan dalil-dalil akal melalui ilmu logika (mantiq).

Maojud yang bukan objek hissi ialah maojud yang tidak kena oleh sentuhan dan jarak spasial tetapi ketersambungannya dapat diketahui oleh ilmu logika (mantiq). Maka dalam masalah-masalah metafisika, misalnya konsep discrete dan continue, finite dan infinite, monad, form; mengenai hakikat (esensi) semua maojud, bila kesimpulan hissi menyalahi kesimpulan akal, maka akal yang harus didahulukan.

Bahkan dalam masalah-masalah metafisis seperti ini akal perlu sebisa mungkin membebaskan diri dari pengaruh-pengaruh hissi. Jika tidak demikian maka akan terjadi pengaburan akurasi, dan yang ditemukan bukan lagi objek hissi yang a priori (daruri) melainkan seperti fatamorgana di tanah yang datar (ka saroobin bi qii’ah) yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga tetapi setelah didatangi air tersebut ternyata tidak ada. Kekaburan akurasi inilah yang disebut dengan "waswas" (keraguan-absolut destruktif) yang merusak jiwa manusia, dan termasuk sifat yang dikehendaki oleh setan ada di dalam diri manusia. Sedangkan akal adalah petunjuk yang meluruskan dan menajamkan akurasi dari kekaburan hissi ini.

2. Akal

Para ahli bahasa pada umumnya sepakat bahwa akal (‘aql) berasal dari kata iqaal yang berarti tali pengikat yang kuat, dan ma’qool yang berarti sesuatu yang berbenteng kuat di puncak gunung yang tak terjangkau oleh tangan manusia karena kokoh dan kuatnya. Penamaan daya kemampuan ini dengan akal (aql) menunjukan urgensi potensialitas dan kapabilitasnya sendiri. Dalam Misykaat al-Anwaar, Imam Ghazali meyakinkan bahwa potensi akal cukup capable untuk menangkap bukan saja objek yang terbatas (finite), tetapi juga yang tak terbatas (infinite). Maojudnya meliputi yang discrete maupun yang continue, finitely divisible maupun yang infinitely divisible. Bahkan dalam Ihya al-‘Ulumuddin Al-Ghazali menyediakan satu bab khusus untuk membicarakan keluhuran dan kemuliaan akal, jenis-jenisnya serta sifat, fungsi dan kapabilitasnya.

Dalam arti metafisis akal identik dengan atau bertempat di hati (qalbu) yaitu sebagai sinar lathiif atau sirr ruhani, sebagai inti hakikat manusia. Dalam arti ini akal gharizi siap menerima ilmu-ilmu a priori (daruri) yang kebenarannya aksiomatis dan jelas (badihi) dan siap menerima ilmu-ilmu inferensial/a posteriori (nadzori), yang keduanya merupakan nafsul ‘uluum (jiwa atau semangat ilmu), dan menduduki posisi yang sangat penting dalam perkembangan kedewasaan manusia, dan merupakan batas utama manusia masuk ke gerbang mukallaf (yang tertaklif hukum).

Ketajaman dan akurasi akal adakalanya terkaburkan oleh pengaruh daya imajinasi (khayal) dan daya estimasi (wahm) yang dinisbatkan dengan pengalaman hissi. Maka akal ini laksana cermin yang apabila ia bersih dan murni maka ia bisa merefleksikan objek sebagaimana realitasnya. Kalaupun pemikiran seseorang salah, kesalahan bukan terletak pada akalnya, tetapi karena ia dikuasai oleh khayal dan wahm, kecuali apabila akalnya cacat (tidak berakal).

Maka untuk menjamin cara berpikir dan proses penalaran yang sah sehingga bisa sampai kepada bentuk akal ini diperlukan sarana yang dapat meluruskan dan menjaga kemurniannya, yaitu melalui logika (mantiq). Di sinilah peran penting ilmu logika sebagai mukadimah ilmu-ilmu seluruhnya, dan sebagai neraca dan timbangan yang lurus (al-Qisthos al-Mustaqiim). Dan orang yang tidak menguasai ilmu logika, menurut Al-Ghazali, ia pada dasarnya belum mempercayai kebenaran ilmu yang dimilkinya. Anna man laa ma’rifata lahuu bi al-mantiqi, laa yuu tsaqu bi ‘ilmihii. (Al-Mustashfa, jld I, hlm. 10)


3. Intuisi

Beberapa kitab yang ditulis Al-Ghazali menyinggung seperlunya mengenai potensi intuisi ini, dan ia tidak membahasnya dalam potensi tersendiri, kecuali misalnya dalam kitab Misykaat al-Anwaar yang menyebut potensi lain di atas akal, yaitu ruh quds nabawi yang dimiliki oleh para nabi dan wali, yang memiliki daya kemampuan menangkap maojud di luar tangkapan akal, atau yang disebut maojud transendental. Ahli tafsir dan ulama kontemporer, M. Quraish Shihab, menisbatkan objek (di dalam bukunya), Yang Tersembunyi, dengan mulai menelaah ulasan Al-Ghazali dalam Misykat di atas, seperti keberadaan makhluk-makhluk ghaib seperti iblis, jin dan malaikat.

Di lain kitab Al-Ghazali, dalam al-Munqidz min adl-Dlolaal, diintroduksikan istilah zauq yang searti dengan wijdaan yang sering diartikan dengan intuisi. Dalam kitab Maqaashid al- Asnaa, Imam Ghazali menekankan bahwa apa yang tersingkap oleh kasyfi intuitif hendaklah tetap dikontrol oleh akal, sehingga semua klaim tentang hal kasyfi yang irasional, hanyalah kepalsuan belaka, dan bahwa syari’at tidak gugur dengan haqiqat melainkan terintegrasi. Dan bahwa kewalian adalah permulan kenabian. Bagi yang wushul, yang telah mencapai tahap kasyfi, hendaklah ia menghindarkan dari dari keinginan untuk fana, dan tetap berada dalam koridor sebagaimana manusia sewajarnya. Tidak ada alasan untuk menggurkan syari’at, karena yang menggugurkan taklif syara sekalipun keluar dari yang mengkalim dirinya telah wushul hanyalah ambisi kemewahan semata, dan dorongan syahwat yang menunjukan karakter rendah. Maka tandingilah keinginan itu dengan upaya untuk berbuat kebaikan yang seluas-luasnya bagi umat manusia dengan berpijak pada prinsip ikhlas.

Apa yang luput dari Al-Ghazali, dan mungkin juga secara substansial tidak muncul dalam telaah terhadap karya-karya Al-Ghazali, ialah mengenai potensi dan kapabilitas intuisi fisis (physical intuition), sehingga intuisi ini terbagi dua yaitu intuisi fisis dan intuisi transendental.

Yang dapat kita pahami dari intuisi fisis ini dapat memberikan perumpamaan untuk bisa memahami intuisi transendental. Intuisi fisis ialah intuisi yang dapat mengidrok objek-objek fisis (maojuud hissi) sekalipun indera tidak menjangkaunya, sehingga laporannya tentang dunia hissi sampai ke akal. Sekalipun orang buta atau tuli secara dzohir tidak mampu menangkap objek fisis karena keterbatasannya, tetapi ia tetap memiliki intuisi tentang dunia fisis, seperti adanya gerak, adanya suara, adanya warna, yang informasi demikian ini sangat vital bagi akal, namun tidak sedetail apa yang dapat ditangkap oleh indera dan akal. Bagi akal tidak ada bedanya, baik bagi orang buta (termasuk buta warna) atau pun yang tidak buta, tetap tidak menggeser akurasi akal. Maka celakalah orang yang membeda-bedakan antara orang yang cacat (terbatas) inderanya dengan yang tidak, karena Alloh sendiri tidak membeda-bedakannya.

Intuisi fisis bisa jadi pula apa yang disebut oleh Al-Ghazali ruh khayaali-aqli dalam Misykaat al-Anwaar. Intuisi fisis ini layaknya intuisi transendental, ia diumpamakan seperti lubang cahaya penglihatan yang tak tembus oleh indera, sekalipun kita tidak mampu menjangkau dan tidak dapat menjelajahi luasnya, tetapi kita bisa mengetahui akan maojudnya. Namun keduanya berbeda wilayahnya, intuisi fisis di wilayah dunia fisis yang tak terjangkau indera, dan intuisi transendental di wilayah metafisis yang tak terjangkau akal.

(penulis : hilman.pas@gmail.com)

0 komentar:

Posting Komentar