Pages

Sabtu, 07 Mei 2011

Menghitung Nikmat

Di dalam Al-Quran disebutkan, "Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)."

Bagi seorang hamba Allah, sesungguhnya menyadari ketidakmampuan untuk menghitung seluruh nikmat dan mensyukurinya adalah sangat penting. Karena nikmat Allah yang mengalir kepada hamba-Nya tak terhingga jumlahnya, dan oleh sebab itu boleh jadi kita tidak pernah mencoba menghitung atau tidak mau melihat ketakhinggaannya.

Karunia Allah kepada kita tak terhingga jumlahnya. Kebaikan Allah tidak pernah surut dan kenikmatan tidak terhitung banyaknya. Apalagi nikmat yang secara umum diberikan kepada setiap orang. Allah telah mengalirkan berbagai macam nikmat kepada kita. Karena itu wajib bagi kita untuk menyadari dan melihat nikmat, mensyukurinya, mengetahui nilainya, dan tidak meremehkannya.

Dalam kitab Hikam disebutkan, ada dua nikmat yang senantiasa ada di setiap mahluk (maojud), yaitu nikmat penciptaan (ni’matul iijaad) dan nikmat kelanjutan (ni’matul imdaad). Karena tiap mahluk asalnya tidak ada, maka nikmat yang pertama diterimanya ialah nikmat penciptaan Allah yang mewujudkannya. Kemudian dilanjutkan dengan nikmat kelanjutan hidup itu, yakni melengkapi kebutuhan hidup, sebab bila tidak dilengkapi kebutuhan, tidak akan dapat bertahan hidup.

Nikmat dan kebahagiaan ada dua jenis. Pertama, nikmat yang kekal dan tidak berubah, yaitu nikmat-nikmat akhirat. Kedua, nikmat yang luluh dan berubah, yaitu nikmat-nikmat dan kebahagiaan duniawi. Nikmat yang mutlak berkaitan dengan kebahagiaan abadi, yaitu nikmat iman dan islam. Itulah nikmat yang Allah perintahkan kepada kita agar selalu memintanya dalam shalat, agar Dia menunjukkan kita kepada jalan orang-orang yang diberi nikmat.

Nikmat yang terbatas adalah nikmat yang dirasakan secara umum, baik orang mukmin maupun non-mukmin, meskipun keji. Nikmat tersebut bisa berupa nikmat sehat, tercukupinya kebutuhan, kebahagiaan; kekayaan berupa uang, tanah, aset, dll; kedudukan berupa pangkat, jabatan, kekuasaan dan sebagainya.

Hal ini karena nikmat adalah bagian dari kebaikan. Bahkan nikmat itu sendiri adalah sebuah kebaikan. Kebaikan Allah yang diberikan kepada orang baik dan jahat, kafir dan mukmin, sebab semua makhluk berhak untuk memperoleh nikmat-Nya. Sedangkan kenikmatan yang mutlak hanya diberikan kepada orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebajikan.

Diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah sama sekali tidak mengabaikan balasan amal kebaikan orang mukmin. Kebaikan itu diberikan balasannya (yang berupa nikmat) di dunia dan kelak di akhirat juga akan dibalas. Adapun orang kafir, ia akan diberi makan disebabkan amal-amal yang ia kerjakan di dunia karena rahmat Allah, sehingga ketika di akhirat ia sudah tidak punya kebaikan untuk dibalas." Dalam riwayat lain dengan redaksi, "Sesungguhnya orang kafir apabila berbuat kebaikan, maka ia diberi makan di dunia dengan kebaikan tersebut, sedangkan orang mukmin sesungguhnya Allah akan menyimpan kebaikannya untuk diberi balasan kelak di akhirat dan di dunia juga akan diganti dengan rezeki atas ketaatannya." (HR. Muslim)

Segala sesuatu yang menyenangkan adalah nikmat yang nyata. Jika menyusahkan, maka itu juga kenikmatan. Dari satu sisi, bahwa kesusahan bisa menghapus dosa-dosa dan membuahkan pahala jika dihadapi dengan sabar. Dan dari sisi lain, ada hikmah serta rahmat yang terkandung didalamnya yang tidak diketahui olehnya. Patut diketahui bahwa kedua bentuk nikmat, baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan sama-sama memerlukan syukur dan sabar untuk menghadapinya. Namun, karena kesenangan terasa nikmat dan kesusahan terasa menyakitkan, kata syukur lebih identik dengan hal-hal yang menyenangkan dan kata sabar identik dengan hal-hal yang menyusahkan.

Kebutuhan nikmat kesusahan terhadap sabar sangatlah jelas. Adapun nikmat yang menyenangkan, pada hakikatnya ujian, cobaan, bahkan fitnah dari Allah kepada hamba-Nya. Sabar dalam menghadapi kemudahan, mensyukurinya, dan mempergunakannya untuk berbuat baik lebih berat bagi seseorang daripada bersabar dalam menghadapi kesusahan.

Seorang hamba yang apabila telah merasa asal kejadiannya dari Allah dan kelanjutannya dari Allah, merasa bahwa sifat fakirnya itu memang asli pada kejadiannya, dan ia tidak dapat melepaskan diri dari Tuhan yang dihajatkannya pada setiap detik dalam wujudnya, Dzinun Al-Misri seperti dikutip dalam kitab Hikam mengatakan : "Siapa yang di dalam bertauhid itu merasa seolah-olah sebagai hasil kecerdasannya sendiri, maka tauhid itu tidak dapat menyelamatkannya, sehingga merasa bahwa tauhidnya itu pun karunia dari Allah Ta'ala."

Wallaahu A'lam

(penulis : hilman.pas@gmail.com)