Pages

Jumat, 30 September 2011

Mabadi Ilmu Mantiq

Mabadi ilmu mantiq diajarkan sebagai pengantar kepada ilmu logika sebelum pelajar lebih jauh dan lebih dalam lagi mempelajari ilmu ini. Dalam kitab klasik, mabadi atau pengantar pembelajaran kepada suatu ilmu biasanya dirangkum dalam sepuluh, yang meliputi had (definisi), maodlu (sasaran), tsamroh (hasil/target), fadlu (keutamaan), nisbat (hubungan), wadi’ (penyusun), al-ismu (penamaan), istimdaad (sumber), al-hukmu (pandangan hukum syara), dan masaa’il (permasalahan).


1. Had (Definisi)

Mantiq terambil dari akar kata nuthqu atau nuthqon yang berarti penuturan sesuatu atau penuturan isi pikiran dengan bahasa tertentu, baik bahasa lisan natural (simbol bahasa telah tersedia di masyarakat) maupun bahasa artifisial (simbol bahasa sengaja dibuat untuk tujuan tertentu). Seseorang yang menuturkan isi pikirannya disebut naathiq. Manusia adalah binatang yang berpikir (al-insaanu hayawaanun naathiq), artinya manusia mampu menuturkan isi pikirannya dengan cara memproduksi dan mengolah sombol-simbol bahasa yang membentuk pikiran.

Mantiq adalah tempat (isim makan) yang menjadi asal penuturan, bersumber dari akal dan diubah menjadi bahasa penuturan. Hewan secara umum memiliki mantiq dalam level-level tertentu, hal ini ditunjukan dengan adanya noktah kesadaran (consciousness) yang ditemukan pada hewan dengan tingkatan tertentu. Tetapi naathiq hanya ada pada manusia, karena hanya manusia yang dapat berpikir dan dapat memproduksi, mengolah dan memahami bahasa pikiran. Seperti diisyaratkan oleh firman Alloh : Dan Sulaiman telah mewarisi Daud. Dan dia berkata: "Hai manusia, kami telah diberi pengetahuan tentang mantiqot thoiri (penuturan burung) dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya ini semua benar-benar suatu kurnia yang nyata". (QS An-Naml[27] : 16)

Dalam syarah kitab al-Bajuri, Sullam Mantiq, disebutkan definisi Ilmu Mantiq :

علم يبحث فيه عن المعلومات التصورية والتصد يقية من حيث أنها توصل إلى أمر مجهول تصورى أوتصديقى


Artinya : Ilmu yang membahas berbagai pengetahuan baik yang bersifat tashowwuri (visual) maupun bersifat tashdiqi (legal), yang sekiranya memiliki keterkaitan dengan sesuatu yang majhul (tidak diketahui), baik majhul tashowwuri maupun majhul tashdiqi.

Ilmu Mantiq adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk akal (atau logika) yang menjadi asal (sumber) penuturan sesuatu yang digambarkan oleh bahasa. Setiap penuturan mempunyai jalan pikiran yang tidak terlepas dari benar atau salah (aspek legal). Ilmu Mantiq mempelajari bentuk akal (logika) agar terhindar dari jalan pikiran yang salah.

Catatan : Ilmu mantiq yang dibahas di sini adalah ilmu mantiq sebagai suatu metode, yang masih kosong dari pengaruh ajaran-ajaran filsafat. Karena ajaran-ajaran filsafat sesudah Aristoteles juga menggunakan ilmu mantiq (ilmu logika) sebagai salah satu metodenya.

Di dalam Al-Qur'an kata mantiq dan turunan katanya ditemukan dalam berbagai bentuk dan konteks. Coba perhatikan beberapa contohnya berikut ini. Dalam surat al-Anbiya ayat 63 Nabi Ibrohim mengingatkan kaumnya agar tidak menyembah berhala, karena berhala tidak dapat menuturkan sesuatu. Fas’aluuhum in kaanuu yanthiqun. Kata Ibrohim kepada kaumnya : coba tanyakan kepada berhala-berhala itu jika mereka dapat menuturkan sesuatu. Sedangkan bagi orang yang bertauhid kepada Alloh ada Al-Qur’an yang senantiasa menuturkan dengan benar dan Al-Qur’an ini adalah anugerah kemudahan dari Alloh bagi orang-orang yang bertauhid. Firman Alloh dalam surat Al-Mu'minuun[23] ayat 62 : Kami tiada membebani seseorang melainkan sesuai kemampuannya, dan pada sisi Kami ada suatu Kitab yang senantiasa menuturkan dengan benar, dan (apabila mengikutinya) mereka tidak dianiaya.

Karenanya yang dituturkan oleh Al-Qur’an bukan datang dari kekaburan pikiran, angan-angan dan hawa nafsu manusia melainkan ia adalah wahyu dari Alloh yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW :

Dan tiadalah yang dituturkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya (Muhammad). Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.S. An-Najm[53] 3-4).

2. Maodlu’ (Sasaran)

Menurut al-Bajuri, sasaran ilmu mantiq adalah :

المعلومات التصورية والتصد يقية

Yaitu pengetahuan-pengetahuan yang bersifat tashowwuri (visual) dan tashdiqi (legal).

Sasaran pembahasan ilmu mantiq adalah objek-objek pikiran yaitu benda-benda kongkrit atau abstrak yang ditemukan oleh pikiran manusia, baik yang telah menjadi pengetahuan (ma'lum) atau pun objek-objek pikiran yang belum diketemukan atau belum menjadi pengetahuan (majhul). Melalui ilmu mantiq objek-objek tersebut akan menjadi pengetahuan. Dan pengetahuan yang telah dianalisa oleh ilmu mantiq akan menjadi landasan ilmu-ilmu lainnya.

Yang dipelajari dalam ilmu mantiq adalah pikiran dan saluran pikiran yang dibahasakan dengan bahasa tertentu (misalnya bahasa Arab), karena itu Ilmu mantiq juga mempelajari logika bahasa yang digunakan dalam menyalurkan kegiatan akal (proses berpikir) dengan mengevaluasi cara berpikir agar sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir yang benar. Logika yang digunakan adalah logika formal yang disusun oleh Aristoteles, tetapi karena bahasa yang digunakan dalam ilmu Mantiq adalah bahasa Arab sehingga logika bahasa Arab ikut juga disinggung. Namun demikian ilmu mantiq pada prinsipnya tidak mempersoalkan bahasa yang digunakan, karena semua bahasa mempunyai logika formal (bentuk mantiq) yang sama.

3. Tsamroh (Hasil/Target)

Target atau hasil yang diperoleh dengan mempelajari ilmu mantiq yang paling mendasar (asasi) adalah menjaga agar terhindar dari kesalahan di dalam berpikir.

Beberapa tsamroh dan faedah mempelajari ilmu mantiq, antara lain :

يعصـم الذهن عن الخطاء فى الفكر ومعرفة التأ ليفا ت الصحيحة والفاسدة

Pertama, menjaga pikiran dari kesalahan dalam berpikir dan mengetahui kesahihan dan kefasidan suatu konstruksi pikiran. Kedua,

تربية القوى العقليه وتنميتها بالتمرن ومزاولة البحث فى طرق التفكير

Tarbiyah daya kemampuan akal dengan latihan berpikir. Dan melanggengkan pembahasan ilmu dengan jalan berpikir. Ketiga,

وضع الأ شياء فى مواضعها وأداء الأ عمال فى اوقا تها

Menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan menunaikan amal pada waktunya.

Tetapi ada yang tidak kalah penting dari itu semua yaitu ilmu mantiq sebagai metode berpikir untuk menghasilkan pengetahuan, baik itu matematika, ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu mantiq sebagai alat untuk memahami dan mengungkap ilmu-ilmu agama islam. Dengan demikian mempelajari ilmu mantiq adalah urgensi bagi generasi saat ini yaitu untuk menghidupkan dan mengembangkan ilmu-ilmu keagamaan.

Dengan mempelajari ilmu mantiq diharapkan kita semua mendapatkan pencerahan dalam ilmu-ilmu Agama. Sebagaimana perkataan Imam Ghazali :

أن من لامعرفة له بالمنطق لايــــو ثق بعلمه

Sesorang yang tidak mema’rifatkan dirinya dengan ilmu mantiq, ia belum memahami ilmunya.

4. Fadlu (Keutamaan)


فو قا نه على غيره من العلوم

Artinya, ilmu mantiq memiliki keutamaan yang lebih luhur dari ilmu-ilmu yang lainnya.

Manusia diluhurkan derajatnya dibandingkan hewan karena akalnya. Dengan akalnya manusia dapat menjiwai ilmu. Dan akal ini dapat ditelusuri keberadaannya dengan jalan berpikir. Tarbiyyah berpikir agar diperoleh pengetahuan yang benar serta agar terhindar dari kesalahan berpikir merupakan tugas ilmu mantiq. Dengan demikian Ilmu mantiq lebih utama dibandingkan ilmu-ilmu lainnya karena ilmu ini menjadi landasan ilmu-ilmu lainnya.

5. Nisbat (Hubungan)

Nisbat ilmu mantiq adalah dengan akal, sebagimana ilmu Nahwu nisbatnya dengan lisan. Ilmu mantiq menjadi landasan ilmu-ilmu lain. Ilmu mantiq merupakan alat dalam ilmu tauhid untuk menetapkan atau menegasikan (menafikan) sesuatu dengan hukum-hukum akal.

6. Wadi’ (Penyusun)

Ilmu ini pertama kali digagas dan disusun oleh Aristoteles (384-322 SM) yang disebut logika, terambil dari kata syllogismus atau silogisme yang merupakan metode qiyas pertama yang digagasnya. Ilmu mantiq itu sendiri merupakan ilmu logika Aristoteles yang kemudian diterjemahkan dan disusun dari sumber karya-karya Aristoteles, seperti Prior Analytics dan Posterior Analytics. Di antara Ilmuwan muslim generasi pertama yang menterjemahkan dan menyusun ulang ilmu mantiq adalah Abdullah bin al-Makfi’, Abu Ja’far al-Manshuri, Yaqub bin Ishaq al-Kindy, Abu Nasr al-Faroby, Syekh Ibnu Sina, dan puncaknya di Abu Hamid al-Ghazali.

7. Al-Ismu (Nama)

Nama-nama lain dari ilmu Mantiq :

  • Ilmu Logika, ilmu tentang akal dan hukum-hukum akal
  • Ilmu al-‘Uluum, ilmu yang menganalisa ilmu-ilmu lain
  • Ilmu al-Miizan, ilmu yang menimbang ilmu-ilmu lain
  • Mu’yaarul ‘Uluum, ilmu yang menjadi landasan ilmu-ilmu lain

Adapun ilmu ini disebut sebagai ilmu mantiq alasannya menurut al-Bajuri adalah :

لأن المنطق فى الأصل يطلق على الادراك وعلى القوة العاقلة وعلى النطق الذي هو التلفظ

Karena sesungguhnya mantiq secara asal adalah al-idrok (ditemukannya sesuatu), tempatnya daya kemampuan akal, serta berhubungan dengan penuturan yang melafadzkan hasil idrok dan hasil daya kemampuan akal tersebut. Mantiq secara bahasa kedudukannya sebagai isim makan, artinya ia adalah tempat ditemukannya ilmu (al-idrok), dan proses menuturkannya adalah an-nuthqu.

8. Istimdaad (Sumber)

Sumber pengambilan ilmu mantiq adalah akal dan hukum-hukum akal.

9. Hukum Syar’i (Pandangan Hukum Syara)

Hukum mempelajari ilmu mantiq adalah al-jawaz, artinya boleh atau tidak dilarang. Boleh di sini memiliki beberapa catatan sebagai berikut :

Syarah Bajuri Sullam Mantiq menjelaskan bahwa ilmu mantiq terbagi dua :

  • Pertama, ilmu mantiq yang masih kosong dari ajaran-ajaran filsafat. Para ulama tidak berbeda pendapat mengenai hukum mempelajarinya, yaitu boleh, bahkan fardlu kifayah, karena ilmu mantiq dapat digunakan sebagai alat dalam memahami ilmu kalam.

  • Kedua, ilmu mantiq yang sudah ada di dalam ajaran filsafat tertentu. Artinya ilmu mantiq ini sudah tercampuri oleh ajaran-ajaran filsafat (ilmu mantiq yang sudah tidak murni lagi). Di sini terdapat perbedaan pendapat di dalam mempelajarinya sebagaimana yang akan dijelaskan berikut ini.



Para ulama terdahulu berbeda pendapat mengenai hukum mempelajari filsafat (ilmu mantiq yang sudah terpengaruhi ajaran filsafat). Kata al-khulfu merupakan isim mashdar dengan makna al-ikhtilaaf (beda pendapat) sebagaimana dikatakan Ibrohim al-Bajuri. Perbedaan pendapat tersebut ialah sebagai berikut :

  • Pendapat pertama bersumber dari Taqiyyuddin Abu 'Amr 'Utsman bin Sholah dan Muhyiddin an-Nawawi yang berpendapat haram mengkajinya. Haramnya disebabkan karena mengikuti tradisi orang-orang Yahudi dan Nashroni. Serta mengikuti tradisi kafir Fulasifah dan kafir Mu’tazilah. Diharamkan mengkaji ilmu mantiq apabila dibarengi dengan maksud menetapkan di hatinya keyakinan-keyakinan kafir Mu’tazilah dan kafir Fulasifah yang jelas mengingkari ajaran Tauhid. Tetapi pendapat ini tidak begitu jelas apabila orang yang mengkajinya kaamilul qorihah (berakal sempurna) dan mumarisus sunnah wal kitaab (pengkaji Al-Hadits dan Al-Quran), sebagaimana dikatakan oleh Syekh al-Malawi pendapat ini masih kabur.

  • Pendapat yang kedua harus mempelajarinya. Qoum di sini bersumber dari pandangan Imam Ghazali. Syekh al-Malawi menafsirkan pendapat Imam Ghazali ini bukan fardhu kifayah, melainkan wajib atau sunat. Sebagaimana pernyataan Imam Ghazali : orang yang tidak mema’rifatkan dirinya dengan mantiq, ia belum memahami ilmunya.

  • Pendapat ketiga ialah yang paling masyhur dan paling shohih di antara para ulama, disebut paling masyhur karena banyak ulama yang berpendapat demikian dan disebut paling shohih karena lebih kuat dalilnya, yaitu boleh mempelajarinya bagi kaamilil qorihah dan mumarisus sunnah wal kitab. Dengan mempelajari ilmu mantiq diharapkan dapat membantu mengungkap as-showab (kebenaran logika).


10. Masa’il (Permasalahan)

Masalah yang dipelajari adalah mengenai esensi ilmu, dilaalah, berbagai proposisi/pernyataan/qodliyyah, jenis-jenis qodliyyah, struktur qodliyyah, serta hubungan qodliyyah dengan qodliyyah lain, metode qiyas dan masih banyak lagi.


Mudah-mudahan dengan mabadi (pengantar pembelajaran) ilmu mantiq yang sepuluh ini bisa menjadi jalan penunjuk ke lautan ilmu yang lebih luas, dan mutiara ilmu yang paling berharga dapat terkuak. Mudah-mudahan di generasi kita sekarang dan selanjutnya akan muncul para ahli hujjah, sebagaimana disebutkan dalam syair dari Al-Akhdlori :



وحط عنهم من سـماء العقل # كل حجاب من سحاب الجهل

wa haththo 'anhum min samaail 'aqli # kulla hijaabin min sahaabil jahli
(Dan dari para ahli hujjah itu turun mutiara ilmu dari keluhuran akal yang dapat menyingkap setiap penghalang dari sebab-sebab kebodohan).


حتى بدت لهم شموس المعرفة # رأوامخد راتها منكشفه


hatta badat lahum syumuusul ma’rifah # roao mukhoddarotihaa munkasyifah
(Sehingga sinar kema'rifatannya memancar, karena mereka mampu menyingkap setiap penutup yang menghalanginya).

Semoga.



Kitab yang dianjurkan :
  • Al-Akhdlori, Sullam al-Munoruq, kitab kuning.
  • Al-Bajuri, Sullam al-Mantiq, kitab kuning.
  • Ibrohimi, M. Nur, 'Ilmu al-Mantiq, Penerbit : Pustaka Azam, Jakarta.


(penulis : hilman.pas@gmail.com)