Pages

Kamis, 09 Juni 2011

Kajian Sintaktis Mashdar

Mashdar sering diartikan sebagai isim yang di-nashab-kan yang berada pada urutan ketiga dalam tashrif fi’il setelah fi’il madhi (bentuk kata kerja lampau) dan fi’il mudhori’ (bentuk kata kerja saat ini dan yang akan datang). Tashrif itu sendiri secara bahasa artinya adalah at-taghyiir (berubah), sebagaimana dijelaskan dalam kitab Shorof al-Kailani. Yaitu memindahkan bentuk asal (pokok) ke bentuk-bentuk lain turunannya karena mengejar makna yang dimaksud oleh pengucap. Tetapi di dalam memahami bentuk asal ini, ada dua pendapat. Ulama bahasa asal Bashrah berpendapat bahwa yang menjadi asal atau pokok di dalam tashrif ini adalah mashdar, alasannya karena fi’il menunjukan kejadian atau perbuatan yang ditunjukan oleh mashdar. Artinya fi’il mengikuti mashdar dalam menunjukan suatu kejadian. (Lihat : M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, vol 15 hlm. 195-196, ketika membahas ayat pertama surat al-A’la, yaitu logika munculnya bentuk kata perintah sabbih pada ayat tersebut, dan ayat-ayat lain yang berkaitan, menjelaskan pendapat ulama Bashrah ini). Sedangkan ulama asal Kuufah berpendapat bahwa yang menjadi asal di dalam tashrif ini adalah fi’il madhi karena mashdar fungsinya hanya memperkuat (men-taokid) fi’il madhi, sedangkan yang di-taokid (diperkuat), menurut ahli Kuufah, pasti asal bagi yang men-taokid-kannya.

Menarik untuk dikaji bahwa aturan sintaktis (wazan) mashdar di dalam tashrif sangat banyak sekali, paling banyak di antara bentuk-bentuk lainnya, di mana pada tiap-tiap aturan sintaktis (wazan) fi’il bisa beraneka ragam dan memiliki spektrum yang sulit diterka, ada yang mengikuti aturan sintaktis tertentu dan ada pula yang tidak mengikutinya. Sehingga bisa dipahami apabila ada yang mengartikan mashdar sebagai isim yang bentuknya tak terbatas (infinitive noun) tidak hanya dari segi kandungan maknanya, dimana fi’il merupakan salah satu perwujudannya (dalam hal ini mashdar dikatakan sebagai kata kerja yang dibendakan), tetapi juga lafadz yang merepresentasikannya memilki spektrum wazan yang beraneka ragam. Maka dengan wazan mashdar yang beraneka ragam ini sangat sulit untuk menyebutnya sebagai asal di dalam tashrif sebagaimana teori Bashrah.

Di sisi lain, para pengkaji Kitab Alfiyyah mengetahui bahwa bab yang menguraikan berbagai operasi mashdar (i’maalul mashdar) terlebih dahulu dijelaskan dan diletakan sebelum bab yang menguraikan berbagai aturan sintaktis atau wazan mashdar (abniyyatul mashadir). Ada pendapat yang mengatakan alasan Ibnu Malik (penulis Kitab Alfiyyah) mendahulukan operasi mashdar daripada aturan sintaktis (wazan) mashdar, karena operasi mashdar menunjukan dzat mashdar yang sebenarnya. Sementara itu wazan menunjukkan sifatnya, sedangkan tidak akan ada sifat kalau tidak didahului oleh adanya dzat, menurut kaidah : ma'rifatudz dzaati muqoddamun 'alaa ma'rifati ash-shifaati. Jika operasi (amal) dikatakan sebagai dzatnya mashdar, dan dzatnya ini mendahului sifatnya, maka karakteristik bangunan (bina) fi'il yang ditunjukan oleh dzat mashdar — sesuai dengan teori Bashrah — secara tidak langsung akan mempengaruhi aturan sintaktis mashdar. Hal ini jelas terlihat pada bab abniyyatul mashadir, dimana aturan sintaktis mashdar dipengaruhi juga — paling tidak memiliki relasi — salah satunya dengan bentuk bangungan (bina) fi’il-nya.

Berikut ini beberapa catatan tentang amal mashdar di dalam kalimat, serta karakteristik bangunan dan juga aturan sintaktis mashdar untuk pengkaji ilmu nahwu tingkat lanjut, khususnya pengkaji kitab Alfiyah. Tetapi sebelum kepada pembahasan tentang berbagai aturan sintaktis mashdar di dalam tashrif, ada baiknya terlebih dahulu mengulas sedikit tentang karakteristik bangunan (bina) fi’il.

Konstruksi Bina Fi’il

Seperti diketahui fi’il (bahasa Indonesia : kata kerja) bila dilihat dari segi bangunan (bina)-nya terbagi menjadi :

  1. Fi’il bina muta’addi (transitive) yaitu apabila suatu perbuatan atau kejadian menembus faa’il (pelaku) dan sampai di maf’uul bih (objek), contoh : nashortu zaidan (نصرت زيدا) dimana pertolongan ini melewati pelaku (saya) sampai pada zaid (objek). Oleh karena perbuatan ini melewati pelaku maka fi’il bina muta’addi disebut juga bina mujaawiz, dan karena sampainya perbuatan di maf’uul bih (objek), fi’il bina muta’addi disebut pula fi’il bina waqi’.
  2. Fi’il bina ghoer muta’addi (non-transitive), yaitu apabila perbuatan atau kejadian yang direpresentasikan oleh fi’il tersebut tidak menembus faa’il, melainkan hanya sampai di faa’il, sehingga disebut juga fi’il bina laazim, artinya perbuatan yang hanya sampai di faa’il. Tetapi perbuatan demikian tidak sampai pada maf’ul bih (objek) sehingga disebut fi’il bina ghoer waaqi’.
Sementara itu fi’il bina lazim bisa menjadi fi’il bina muta’addi dengan tiga cara : (1) Dengan cara melipat 'ain fi'il (tadh'iiful 'ain) dengan tasdid, contohnya fariha jadi farroha; (2) Dengan memakai hamzah di awalnya, contoh jalasa jadi ajlastu zaidan; dan (3) Dengan menggunakan huruf jar di maf’ulnya, contoh dzahaba jadi dzahabtu bi zaidin.

Dengan catatan, kalau fi’ilnya tsulatsi mujarrod ketiga alat di atas bisa dipakai. Sedangkan kalau fi’ilnya selain tsulatsi mujarrod, baik tsulatsi mazid, ruba’i mujarrod, dan ruba’i mazid, maka cara memuta’adikannya khusus dengan menggunakan cara ketiga, yaitu melalui alat huruf jar saja, contoh intholaqtu, dimuta’addikan jadi intholaqtu bihi.

Sedangkan fi’il bina muta’addi bisa menjadi fi’il bina lazim dengan dua cara : (1) Dengan membuang alat pe-muta’addi-an (tadh’îf, hamzah, dan huruf jar) bila bina muta’addi tersebut adalah hasil dari alat pe-muta’addi-an yang tiga di atas; (2) Tetapi apabila muta’addinya karena dzatiyahnya, bukan karena alat, maka harus dimasukan ke dalam wazan fi’il yang memilki bina muthowa’ah, contoh nashoro zaidun ‘amron (نصرزيدعمرا) jadi intashoro zaidun (انتصرزيد).

Mashdar dan Isim Mashdar

Mashdar dibedakan dengan isim mashdar. Mashdar menurut ilmu Nahwu adalah :


لَفْظٌ دال على حد ث يجرى على حروف فعله

Artinya : lafadz yang menunjukan suatu kejadian yang berjalan sesuai dengan huruf-huruf fi’ilnya.

Contoh :نصرت نصرا

Sedangkan istilah isim mashdar diartikan sebagai :

لفظ دال على حدث لا يجرى على حروف فعله

Artinya : lafadz yang menunjukkan suatu kejadian yang tidak berjalan sesuai dengan huruf-huruf fi’ilnya.

Contoh :أعطى عطاء

Isim mashdar adalah lafadz yang memiliki dilaalah (penunjuk makna) sama dengan mashdar. Isim mashdar ini menggantikan kedudukan mashdar manakala terbebas (baik secara lafdzi maupun secara ma’nawi) dari sebagian yang ada dalam fi’ilnya tanpa ada pengganti, seperti 'athoo'an (عطاء). Lafadz ini sama kedudukannya dengan i'thoo'an (إعطاء). Akan tetapi berbeda dengan fi’ilnya karena terbebas dari hamzah yang ada dalam fi’ilnya. Terbebas dari hamzah baik secara lafdzi maupun taqdiiri, dan tidak ada penggantinya sama sekali.

Aritmetika Mashdar

Amal mashdar di dalam kalimat adalah mengikuti fi’ilnya dalam hal :
  1. Ke-muta’adi-an (transitivity), yaitu apabila fi’il-nya muta’adi (transitive), maka mashdarnya juga muta’adi, yaitu bisa mempunyai subjek (fa’il) dan objek (maf’ul).
  2. Ke-lazim-an (non-transitivity), yaitu apabila fi’il-nya lazim (non-transitive), maka mashdar juga lazim, yaitu hanya sampai di faa’il (dan kalimat tidak mempunyai objek atau maf’ul bih).
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan amal mashdar :
  1. Apabila mashdar tidak menunjukan isim jenis, seperti lafadz fajaarun. Maka dalam hal ini, baik ahli Kuufah maupun ahli Bashrah, menyepakati bahwa mashdar tidak beramal seperti fi’ilnya.
  2. Apabila mashdar diawali oleh mim (mashdar mimi, kecuali wazan mafaa’alatun) maka ulama Kuufah dan Bashroh sepakat bahwa mashdar beramal sebagaimana fi’ilnya.
  3. Apabila mashdar keluar dari selain wazan tsulatsi maka menurut ulama bashroh mashdar tidak beramal (contoh seperti lafadz khuluqun), sedangkan menurut ulama kufah mashdar beramal seperti biasa asalkan satu wazan dengan mashdar tsulatsi.
Mashdar beramal seperti amal fi’ilnya dalam dua tempat :
  1. Mashdar yang menggantikan kedudukan fi’ilnya
  2. Mashdar diperkirakan keberadaannya melalui an mashdariyyah (apabila amal mashdar menunjukan daerah waktu lampau atau madhi), atau maa mashdariyyah (apabila mashdar daerah waktu saat ini atau yang akan datang).
Dengan catatan, untuk mashdar yang keberadaannya diperkirakan oleh an dan ma, keduanya bisa beramal seperti amal fi’ilnya dalam tiga keadaan : (1) Mashdar dalam keadaan di-idofatkan; (2) Mashdar dalam keadaan terbebas (mujarrod) dari idofat dan al, yaitu mudhof yang ditanwinkan; dan (3) Mashdar dalam keadaan didampingi oleh al.

Sedangkan mengenai isim mashdar ia beramal sebagaimana amal fi’ilnya.

Berbagai Aturan Sintaktis Mashdar

Berdasarkan aturan sintaktisnya, secara garis besar mashdar terbagi dua :

(1) Mashdar Qiyasi,

كـــل مـصدر يرجع إلى وزن يخصه أو ضابت يضبطه

Artinya, mashdar yang memiliki aturan siontaktis (wazan) yang ditentukan atau sesuai dengan aturan tertentu.

(2) Mashdar Sama’i,

كـــل مـصدرلا يرجع إلى وزن يخصه أو ضابت يضبطه

Yakni mashdar yang tidak mengikuti wazan atau pun aturan sintaktis tertentu, tetapi muncul karena didengar sering dipakai oleh orang Arab.


Aturan Sintaktis Untuk Mencetak Mashdar

1. Aturan untuk mencetak Mashdar Qiyaasi Tsulaatsi Mujarrod

a) Untuk tsulaatsi mujarrod yang fi’il madhi-nya berwazan fa’ala
  1. Bila fi’ilnya muta’addi (transitive), sesuaikan dengan wazan fa’lun
  2. Bila fi’ilnya lazim (non-transitive), baik bina shoheh atau bina mu’tal, yang maknanya tidak menunjukan makna mencegah, berulang, penyakit, dan suara, maka sesuaikan mashdarnya dengan wazan fu’uulun
  3. Bila fi’ilnya lâzim (non-transitive), bermakna mencegah, sesuaikan dengan wazan fi’aalan
  4. Bila fi’ilnya lâzim (non-transitive), menunjukan makna berulang, sesuaikan mashdarnya dengan fa’alaanan
  5. Bila fi’ilnya lazim (non-transitive), bermakna penyakit, atau makna suara, sesuaikan mashdarnya dengan wazan fu’aalan
  6. Bila fi’ilnya lazim (non-transitive), menunjukan makna berjalan dan suara, sesuaikan mashdarnya dengan wazan fa’iilun
b) Untuk tsulatsi Mujarrod yang fi’il madhi-nya berwazan fa’ila
  1. Bila fi’il-nya muta’addi (transitive), sesuaikan mashdarnya dengan wazan fi’lan
  2. Bila fi’il-nya lazim (non-transitive), baik fi’il shoheh, mu’tal, atau pun mudho’af, untuk mencetak mashdar maka sesuaikan dengan wazan fa’alun
c) Untuk tsulatsi Mujarrod yang fi’il madhi-nya berwazan fa’ula
  1. Bila fi’il-nya muta’addi (transitive), sesuaikan mashdarnya dengan wazan fu’lan
  2. Bila fi’ilnya lazim (non-transitive), sesuaikan mashdarnya dengan wazan berikut : (2a) Fu’uulatan (فعولة) apabila isim fâ’il-nya sesuai dengan wazan fa’lun; dan
    (2b) Fa’aalatan (فعالة) apabila isim fa’il-nya sesuai dengan wazan fa’iilun
Catatan :

Untuk wazan mashdar Sama’i Tsulaatsi Mujarrod tidak mengikuti ketentuan di atas.

2. Aturan Sintaktis untuk mencetak Mashdar Qiyaasi Tsulaatsi Maziid
  1. Untuk wazan af’ala (أفعــل) yakni tsulatsi mazid warna awal bab awal, sesuaikan dengan wazan if’aalan (إفعالا). Sedangkan untuk yang mu’tal ‘ain sesuaikan dengan wazan if’aalatan (إفعالة) yang sudah biasa diberi ta laziimah (ta kelaziman) seperti aqooma-yuqiimu-iqoomatan yang asalnya iqwaaman (إقوم). Dan yang tidak biasa menggunakan ta seperti iqoomu ash-shholaah, illat tidak memakai ta karena idofah (disandarkan).
  2. Untuk wazan fa’’ala (فَعّــل) (dengan tasdid ‘ain fi’il-nya) yakni tsulatsi mazid warna awal bab kedua, sesuaikan mashdarnya dengan wazan taf’iilan (تفعيلا)dan terkadang disesuaikan dengan wazan taf’iilatan
  3. Wazan faa’ala (فاعـل), yakni tsulatsi mazid warna awal bab ketiga, sesuaikan mashdarnya dengan wazan fi’aalun(فعال) dan wazan mufaalatun
  4. Wazan tafaa’ala (تفاعل), sesuaikan mashdarnya dengan wazan tafâ’ulan
  5. Wazan tafa’’ala (تفعَّـل) sesuaikan mashdarnya dengan wazan tafa’’ulan
  6. Wazan ifta’ala(إفتعـل) sesuaikan mashdarnya dengan mashdar ifti’aalatan(إفثعالة) contoh ista’adza-yasta’idzu-isti’aadzatan, asalnya isti’wâdzan(إستعواذا) maka tukarkan huruf wau dengan alif karena illat :لتحركها فى الاصل وانفتاح ما قبلها maka jadi isti’aadzan إستعاذا .... kemudian buang alif kamashdaran diganti dengan ta simpan di akhir kalimat, maka jadi isti’âdzatan
  7. Dan untuk wazan fi’il madhi lain dalam tsulatsi mazid warna kedua (dengan huruf tambahan dua) yang diawali dengan hamzah washol, maka huruf sebelum akhir harus dipanjangkan pembacaannya dan difatahkan, dan huruf yang menempel dengan ke yang kedua harus dikasrohkan seperti wazan ifta’ala-ifti’aalan(إفتعل إفتعالا)

3. Aturan Sintaktis untuk mencetak Mashdar Qiyaasi Ruba’i Mujarrod

Fi’il berwazan fa’lala (فعلل) yaitu ruba’i mujarrod, begitu juga dengan mulhaqnya, sesuaikan mashdarnya dengan wazan fi’laalun (فعلال) (untuk mashdar samaa’i) dan wazan fa’lalatun.

4. Aturan Sintaktis untuk mencetak Mashdar Qiyaasi Ruba’i Maziid
  1. Untuk fi’il madhi berwazan tafa’lala(تفعلل) yakni fi’il Ruba’i Maziid warna awal (dengan huruf tambahan satu) sesuaikan dengan wazan tafa’lulan ((تفعلًلا dimana huruf yang ke-empat di domahkan.
  2. Untuk fi’il madhi berwazan if’alalla (إفعَـللّ) yaitu fi’il Ruba’i Mazid warna kedua (dengan huruf tambahan dua) sesuaikan dengan wazan if’illaalan (إفعِلاّلا) atau dengan wazan fu’alliilatan (فعـلِّيلة). Untuk mulhaqnya, yakni fi’il berwazan if’anlala (إفعنلل) sesuaikan mashdarnya dengan wazan if’inlâlan (إفعِنلالا), dan untuk fi’il berwazan if’anlaa (إفعنلى) sesuaikan mashdarnya dengan wazan if’inlaa’an (إفعنلاءً).

5. Aturan Sintaktis untuk mencetak Mashdar Marroh dan Mashdar Haeat

Definisi mashdar marroh : mashdar yang menunjukan makna perulangan sekali :

وهـــو مـا يــدل على مرة واحدة

Untuk mencetak mashdar marroh keluaran dari tsulatsi mujarrod, sesuaikan dengan wazan fa’latun(فعلة) .

Definisi mashdar haiat : mashdar yang menunjukan pekerjaan yang sekali dilakukan. Atau :

وهـــو مـا يــدل على هيئة الفعل الواحد

Untuk mencetak mashdar haiat yang keluar dari tsulatsi mujarrod, sesuaikan dengan wazan fi’latun(فعلة).


(Penulis : hilman.pas@gmail.com)