Pages

Jumat, 30 September 2011

Mabadi Ilmu Mantiq

Mabadi ilmu mantiq diajarkan sebagai pengantar kepada ilmu logika sebelum pelajar lebih jauh dan lebih dalam lagi mempelajari ilmu ini. Dalam kitab klasik, mabadi atau pengantar pembelajaran kepada suatu ilmu biasanya dirangkum dalam sepuluh, yang meliputi had (definisi), maodlu (sasaran), tsamroh (hasil/target), fadlu (keutamaan), nisbat (hubungan), wadi’ (penyusun), al-ismu (penamaan), istimdaad (sumber), al-hukmu (pandangan hukum syara), dan masaa’il (permasalahan).


1. Had (Definisi)

Mantiq terambil dari akar kata nuthqu atau nuthqon yang berarti penuturan sesuatu atau penuturan isi pikiran dengan bahasa tertentu, baik bahasa lisan natural (simbol bahasa telah tersedia di masyarakat) maupun bahasa artifisial (simbol bahasa sengaja dibuat untuk tujuan tertentu). Seseorang yang menuturkan isi pikirannya disebut naathiq. Manusia adalah binatang yang berpikir (al-insaanu hayawaanun naathiq), artinya manusia mampu menuturkan isi pikirannya dengan cara memproduksi dan mengolah sombol-simbol bahasa yang membentuk pikiran.

Mantiq adalah tempat (isim makan) yang menjadi asal penuturan, bersumber dari akal dan diubah menjadi bahasa penuturan. Hewan secara umum memiliki mantiq dalam level-level tertentu, hal ini ditunjukan dengan adanya noktah kesadaran (consciousness) yang ditemukan pada hewan dengan tingkatan tertentu. Tetapi naathiq hanya ada pada manusia, karena hanya manusia yang dapat berpikir dan dapat memproduksi, mengolah dan memahami bahasa pikiran. Seperti diisyaratkan oleh firman Alloh : Dan Sulaiman telah mewarisi Daud. Dan dia berkata: "Hai manusia, kami telah diberi pengetahuan tentang mantiqot thoiri (penuturan burung) dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya ini semua benar-benar suatu kurnia yang nyata". (QS An-Naml[27] : 16)

Dalam syarah kitab al-Bajuri, Sullam Mantiq, disebutkan definisi Ilmu Mantiq :

علم يبحث فيه عن المعلومات التصورية والتصد يقية من حيث أنها توصل إلى أمر مجهول تصورى أوتصديقى


Artinya : Ilmu yang membahas berbagai pengetahuan baik yang bersifat tashowwuri (visual) maupun bersifat tashdiqi (legal), yang sekiranya memiliki keterkaitan dengan sesuatu yang majhul (tidak diketahui), baik majhul tashowwuri maupun majhul tashdiqi.

Ilmu Mantiq adalah ilmu yang mempelajari tentang bentuk akal (atau logika) yang menjadi asal (sumber) penuturan sesuatu yang digambarkan oleh bahasa. Setiap penuturan mempunyai jalan pikiran yang tidak terlepas dari benar atau salah (aspek legal). Ilmu Mantiq mempelajari bentuk akal (logika) agar terhindar dari jalan pikiran yang salah.

Catatan : Ilmu mantiq yang dibahas di sini adalah ilmu mantiq sebagai suatu metode, yang masih kosong dari pengaruh ajaran-ajaran filsafat. Karena ajaran-ajaran filsafat sesudah Aristoteles juga menggunakan ilmu mantiq (ilmu logika) sebagai salah satu metodenya.

Di dalam Al-Qur'an kata mantiq dan turunan katanya ditemukan dalam berbagai bentuk dan konteks. Coba perhatikan beberapa contohnya berikut ini. Dalam surat al-Anbiya ayat 63 Nabi Ibrohim mengingatkan kaumnya agar tidak menyembah berhala, karena berhala tidak dapat menuturkan sesuatu. Fas’aluuhum in kaanuu yanthiqun. Kata Ibrohim kepada kaumnya : coba tanyakan kepada berhala-berhala itu jika mereka dapat menuturkan sesuatu. Sedangkan bagi orang yang bertauhid kepada Alloh ada Al-Qur’an yang senantiasa menuturkan dengan benar dan Al-Qur’an ini adalah anugerah kemudahan dari Alloh bagi orang-orang yang bertauhid. Firman Alloh dalam surat Al-Mu'minuun[23] ayat 62 : Kami tiada membebani seseorang melainkan sesuai kemampuannya, dan pada sisi Kami ada suatu Kitab yang senantiasa menuturkan dengan benar, dan (apabila mengikutinya) mereka tidak dianiaya.

Karenanya yang dituturkan oleh Al-Qur’an bukan datang dari kekaburan pikiran, angan-angan dan hawa nafsu manusia melainkan ia adalah wahyu dari Alloh yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW :

Dan tiadalah yang dituturkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya (Muhammad). Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (Q.S. An-Najm[53] 3-4).

2. Maodlu’ (Sasaran)

Menurut al-Bajuri, sasaran ilmu mantiq adalah :

المعلومات التصورية والتصد يقية

Yaitu pengetahuan-pengetahuan yang bersifat tashowwuri (visual) dan tashdiqi (legal).

Sasaran pembahasan ilmu mantiq adalah objek-objek pikiran yaitu benda-benda kongkrit atau abstrak yang ditemukan oleh pikiran manusia, baik yang telah menjadi pengetahuan (ma'lum) atau pun objek-objek pikiran yang belum diketemukan atau belum menjadi pengetahuan (majhul). Melalui ilmu mantiq objek-objek tersebut akan menjadi pengetahuan. Dan pengetahuan yang telah dianalisa oleh ilmu mantiq akan menjadi landasan ilmu-ilmu lainnya.

Yang dipelajari dalam ilmu mantiq adalah pikiran dan saluran pikiran yang dibahasakan dengan bahasa tertentu (misalnya bahasa Arab), karena itu Ilmu mantiq juga mempelajari logika bahasa yang digunakan dalam menyalurkan kegiatan akal (proses berpikir) dengan mengevaluasi cara berpikir agar sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir yang benar. Logika yang digunakan adalah logika formal yang disusun oleh Aristoteles, tetapi karena bahasa yang digunakan dalam ilmu Mantiq adalah bahasa Arab sehingga logika bahasa Arab ikut juga disinggung. Namun demikian ilmu mantiq pada prinsipnya tidak mempersoalkan bahasa yang digunakan, karena semua bahasa mempunyai logika formal (bentuk mantiq) yang sama.

3. Tsamroh (Hasil/Target)

Target atau hasil yang diperoleh dengan mempelajari ilmu mantiq yang paling mendasar (asasi) adalah menjaga agar terhindar dari kesalahan di dalam berpikir.

Beberapa tsamroh dan faedah mempelajari ilmu mantiq, antara lain :

يعصـم الذهن عن الخطاء فى الفكر ومعرفة التأ ليفا ت الصحيحة والفاسدة

Pertama, menjaga pikiran dari kesalahan dalam berpikir dan mengetahui kesahihan dan kefasidan suatu konstruksi pikiran. Kedua,

تربية القوى العقليه وتنميتها بالتمرن ومزاولة البحث فى طرق التفكير

Tarbiyah daya kemampuan akal dengan latihan berpikir. Dan melanggengkan pembahasan ilmu dengan jalan berpikir. Ketiga,

وضع الأ شياء فى مواضعها وأداء الأ عمال فى اوقا تها

Menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan menunaikan amal pada waktunya.

Tetapi ada yang tidak kalah penting dari itu semua yaitu ilmu mantiq sebagai metode berpikir untuk menghasilkan pengetahuan, baik itu matematika, ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu mantiq sebagai alat untuk memahami dan mengungkap ilmu-ilmu agama islam. Dengan demikian mempelajari ilmu mantiq adalah urgensi bagi generasi saat ini yaitu untuk menghidupkan dan mengembangkan ilmu-ilmu keagamaan.

Dengan mempelajari ilmu mantiq diharapkan kita semua mendapatkan pencerahan dalam ilmu-ilmu Agama. Sebagaimana perkataan Imam Ghazali :

أن من لامعرفة له بالمنطق لايــــو ثق بعلمه

Sesorang yang tidak mema’rifatkan dirinya dengan ilmu mantiq, ia belum memahami ilmunya.

4. Fadlu (Keutamaan)


فو قا نه على غيره من العلوم

Artinya, ilmu mantiq memiliki keutamaan yang lebih luhur dari ilmu-ilmu yang lainnya.

Manusia diluhurkan derajatnya dibandingkan hewan karena akalnya. Dengan akalnya manusia dapat menjiwai ilmu. Dan akal ini dapat ditelusuri keberadaannya dengan jalan berpikir. Tarbiyyah berpikir agar diperoleh pengetahuan yang benar serta agar terhindar dari kesalahan berpikir merupakan tugas ilmu mantiq. Dengan demikian Ilmu mantiq lebih utama dibandingkan ilmu-ilmu lainnya karena ilmu ini menjadi landasan ilmu-ilmu lainnya.

5. Nisbat (Hubungan)

Nisbat ilmu mantiq adalah dengan akal, sebagimana ilmu Nahwu nisbatnya dengan lisan. Ilmu mantiq menjadi landasan ilmu-ilmu lain. Ilmu mantiq merupakan alat dalam ilmu tauhid untuk menetapkan atau menegasikan (menafikan) sesuatu dengan hukum-hukum akal.

6. Wadi’ (Penyusun)

Ilmu ini pertama kali digagas dan disusun oleh Aristoteles (384-322 SM) yang disebut logika, terambil dari kata syllogismus atau silogisme yang merupakan metode qiyas pertama yang digagasnya. Ilmu mantiq itu sendiri merupakan ilmu logika Aristoteles yang kemudian diterjemahkan dan disusun dari sumber karya-karya Aristoteles, seperti Prior Analytics dan Posterior Analytics. Di antara Ilmuwan muslim generasi pertama yang menterjemahkan dan menyusun ulang ilmu mantiq adalah Abdullah bin al-Makfi’, Abu Ja’far al-Manshuri, Yaqub bin Ishaq al-Kindy, Abu Nasr al-Faroby, Syekh Ibnu Sina, dan puncaknya di Abu Hamid al-Ghazali.

7. Al-Ismu (Nama)

Nama-nama lain dari ilmu Mantiq :

  • Ilmu Logika, ilmu tentang akal dan hukum-hukum akal
  • Ilmu al-‘Uluum, ilmu yang menganalisa ilmu-ilmu lain
  • Ilmu al-Miizan, ilmu yang menimbang ilmu-ilmu lain
  • Mu’yaarul ‘Uluum, ilmu yang menjadi landasan ilmu-ilmu lain

Adapun ilmu ini disebut sebagai ilmu mantiq alasannya menurut al-Bajuri adalah :

لأن المنطق فى الأصل يطلق على الادراك وعلى القوة العاقلة وعلى النطق الذي هو التلفظ

Karena sesungguhnya mantiq secara asal adalah al-idrok (ditemukannya sesuatu), tempatnya daya kemampuan akal, serta berhubungan dengan penuturan yang melafadzkan hasil idrok dan hasil daya kemampuan akal tersebut. Mantiq secara bahasa kedudukannya sebagai isim makan, artinya ia adalah tempat ditemukannya ilmu (al-idrok), dan proses menuturkannya adalah an-nuthqu.

8. Istimdaad (Sumber)

Sumber pengambilan ilmu mantiq adalah akal dan hukum-hukum akal.

9. Hukum Syar’i (Pandangan Hukum Syara)

Hukum mempelajari ilmu mantiq adalah al-jawaz, artinya boleh atau tidak dilarang. Boleh di sini memiliki beberapa catatan sebagai berikut :

Syarah Bajuri Sullam Mantiq menjelaskan bahwa ilmu mantiq terbagi dua :

  • Pertama, ilmu mantiq yang masih kosong dari ajaran-ajaran filsafat. Para ulama tidak berbeda pendapat mengenai hukum mempelajarinya, yaitu boleh, bahkan fardlu kifayah, karena ilmu mantiq dapat digunakan sebagai alat dalam memahami ilmu kalam.

  • Kedua, ilmu mantiq yang sudah ada di dalam ajaran filsafat tertentu. Artinya ilmu mantiq ini sudah tercampuri oleh ajaran-ajaran filsafat (ilmu mantiq yang sudah tidak murni lagi). Di sini terdapat perbedaan pendapat di dalam mempelajarinya sebagaimana yang akan dijelaskan berikut ini.



Para ulama terdahulu berbeda pendapat mengenai hukum mempelajari filsafat (ilmu mantiq yang sudah terpengaruhi ajaran filsafat). Kata al-khulfu merupakan isim mashdar dengan makna al-ikhtilaaf (beda pendapat) sebagaimana dikatakan Ibrohim al-Bajuri. Perbedaan pendapat tersebut ialah sebagai berikut :

  • Pendapat pertama bersumber dari Taqiyyuddin Abu 'Amr 'Utsman bin Sholah dan Muhyiddin an-Nawawi yang berpendapat haram mengkajinya. Haramnya disebabkan karena mengikuti tradisi orang-orang Yahudi dan Nashroni. Serta mengikuti tradisi kafir Fulasifah dan kafir Mu’tazilah. Diharamkan mengkaji ilmu mantiq apabila dibarengi dengan maksud menetapkan di hatinya keyakinan-keyakinan kafir Mu’tazilah dan kafir Fulasifah yang jelas mengingkari ajaran Tauhid. Tetapi pendapat ini tidak begitu jelas apabila orang yang mengkajinya kaamilul qorihah (berakal sempurna) dan mumarisus sunnah wal kitaab (pengkaji Al-Hadits dan Al-Quran), sebagaimana dikatakan oleh Syekh al-Malawi pendapat ini masih kabur.

  • Pendapat yang kedua harus mempelajarinya. Qoum di sini bersumber dari pandangan Imam Ghazali. Syekh al-Malawi menafsirkan pendapat Imam Ghazali ini bukan fardhu kifayah, melainkan wajib atau sunat. Sebagaimana pernyataan Imam Ghazali : orang yang tidak mema’rifatkan dirinya dengan mantiq, ia belum memahami ilmunya.

  • Pendapat ketiga ialah yang paling masyhur dan paling shohih di antara para ulama, disebut paling masyhur karena banyak ulama yang berpendapat demikian dan disebut paling shohih karena lebih kuat dalilnya, yaitu boleh mempelajarinya bagi kaamilil qorihah dan mumarisus sunnah wal kitab. Dengan mempelajari ilmu mantiq diharapkan dapat membantu mengungkap as-showab (kebenaran logika).


10. Masa’il (Permasalahan)

Masalah yang dipelajari adalah mengenai esensi ilmu, dilaalah, berbagai proposisi/pernyataan/qodliyyah, jenis-jenis qodliyyah, struktur qodliyyah, serta hubungan qodliyyah dengan qodliyyah lain, metode qiyas dan masih banyak lagi.


Mudah-mudahan dengan mabadi (pengantar pembelajaran) ilmu mantiq yang sepuluh ini bisa menjadi jalan penunjuk ke lautan ilmu yang lebih luas, dan mutiara ilmu yang paling berharga dapat terkuak. Mudah-mudahan di generasi kita sekarang dan selanjutnya akan muncul para ahli hujjah, sebagaimana disebutkan dalam syair dari Al-Akhdlori :



وحط عنهم من سـماء العقل # كل حجاب من سحاب الجهل

wa haththo 'anhum min samaail 'aqli # kulla hijaabin min sahaabil jahli
(Dan dari para ahli hujjah itu turun mutiara ilmu dari keluhuran akal yang dapat menyingkap setiap penghalang dari sebab-sebab kebodohan).


حتى بدت لهم شموس المعرفة # رأوامخد راتها منكشفه


hatta badat lahum syumuusul ma’rifah # roao mukhoddarotihaa munkasyifah
(Sehingga sinar kema'rifatannya memancar, karena mereka mampu menyingkap setiap penutup yang menghalanginya).

Semoga.



Kitab yang dianjurkan :
  • Al-Akhdlori, Sullam al-Munoruq, kitab kuning.
  • Al-Bajuri, Sullam al-Mantiq, kitab kuning.
  • Ibrohimi, M. Nur, 'Ilmu al-Mantiq, Penerbit : Pustaka Azam, Jakarta.


(penulis : hilman.pas@gmail.com)

Sabtu, 09 Juli 2011

Giat "Bercocok Tanam"

Dalam sebuah hadits disebutkan, "Jika kiamat hampir tiba, di tangan salah seorang di antara kamu ada bibit pohon kurma, di mana dia sanggup menanamnya sebelum datang hari kiamat, maka hendaklah dia tanam. Dengan demikian ia beroleh pahala."

Hadits di atas disebutkan oleh Ali bin Al-Aziz dalam kitab Al-Muntakhab dengan sanad yang hasan, riwayat Anas (tertulis dalam Kitab Umdatul Qari fii Syarhil Bukhari, dicatat oleh Badruddin Al-Aini dalam kitab "Bercocok Tanam").

Hendaklah orang bercocok tanam sekalipun kiamat hampir tiba, demikian kata Rasulullah Saw. Mungkin hadits di atas yang didengar dari Rasul dikira bahwa pesan Rasul ketika kiamat hampir tiba ialah memberi peringatan tentang akhirat, mengingatkan orang beramal untuk hari kemudian, atau menyerukan orang untuk menyucikan hati dan bekerja keras untuk hari yang maha dahsyat. Yaitu hari hisab yang menggetarkan hati. Akan tetapi bukan itu yang disampaikan Rasulullah seperti yang kita kira, melainkan Beliau menyuruh untuk bercocok tanam. Apakah maksudnya?

Bibit pohon kurma tidak akan berbuah kecuali melampaui beberapa tahun lamanya. Orang akan menunggu waktu sampai dapat memetik buahnya. Sedangkan hari kiamat tidak diragukan lagi pasti akan tiba. Namun apa yang dianjurkan oleh Rasulullah ketika kiamat hampir tiba bukanlah untuk membuang jauh-jauh semua pekerjaan dunia, atau mengosongkan semua perhatian kita kepada dunia, melainkan tetap mengusahakan dan memeliharanya, sekalipun itu baru pada tahap merintis atau mulai bercocok tanam, karena dalam Islam jalan untuk akhirat juga adalah jalan untuk dunia tanpa berbeda atau berlainan. Artinya di antara keduanya tidak berpisah, yaitu satu jalan untuk dunia dan satu jalan untuk akhirat. Atau jalan ke akhirat dan jalan ke dunia tidak berhubungan satu sama lain. Maksudnya di sana tidak ada dua jalan, tetapi yang ada hanyalah satu jalan saja, yaitu jalan yang permulaannya di dunia dan penghabisannya di akhirat. Keduanya harus dijalani dengan tidak terpisah. Artinya dalam berusaha dunia, ada terdapat ibadah dan dalam ibadah ada juga hasil untuk dunia. Keduanya dalam pandangan islam bercampur baur dan berjalan seimbang satu sama lain dalam satu jalan.

Amal harus dilakukan sampai kepada langkah penghabisan umur, atau sampai kepada batas hidup manusia. Hendaklah orang tetap bercocok tanam, meskipun kiamat hampir tiba. Memperteguh nilai amal, menggiatkannya dan menghimbau kepadanya, ialah suatu pemikiran luhur yang terang benderang dari tujuan Islam. Tetapi sekali lagi, yang dimaksud di sini bukan saja menetapkan nilai amal saja, bahkan menggiatkannya, karena ialah suatu jalan, tidak ada lagi jalan terbagi antara dunia dan akhirat.

Telah berlalu keadaan panjang pada masa-masa lampau yang berusaha memisahkan perkara dunia dan akhirat, mungkin imbasnya masih terasa hingga masa sekarang, di mana orang merasakan perbedaan di antara kedua jalan akhirat dan dunia. Firman Tuhan telah disingkirkan, dan orang-orang sibuk menghimpun kekayaan karena jalan telah bercabang dua. Orang beranggapan bahwa amal untuk akhirat terputus dengan amalan dunia. Dan amal untuk dunia didesak waktu, oleh amal akhirat. Islam lah yang menuangkan orientasi ajaib ini, yaitu dipersatukannya dunia dan akhirat dalam satu jalan. Allah SWT berfirman :

Carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu di negeri akhirat dan jangan kamu lupakan bahagiannya di dunia (Al-Qashash: 77)

Katakanlah : siapa yang mengharamkan perhiasan yang dianugerahkan Allah kepada hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik? Katakanlah : Yang demikian itu teruntuk orang-orang beriman adalah kehidupan dunia khususnya untuk mereka pada hari akhirat. (Al-A'raf: 32).

Beramal di dunia tak boleh putus asa, meskipun hari kiamat hampir tiba, dan orang-orang tidak bisa lagi memetik buah hasilnya di dunia. Di kala itu orang-orang tidak boleh menghentikan pekerjaan, tidak boleh memikirkan bagaimana hasil yang akan didapat, tetapi bagi petani yang di tangan mereka ada bibit tumbuh-tumbuhan, hendalah dia tanamkan bibit tersebut di waktu itu juga. Orang yang membangun usaha, segera laksanakan sebagaimana rencana usahanya.

Itulah suatu anjuran yang mengagumkan untuk tekun bekerja, berusaha dan giat beramal. Tak ada alasan yang mencegah manusia berbuat amal. Dengan semangat yang membaja inilah bumi bisa dimakmurkan, sebab manusia tidak menghentikan kerjanya, bahkan kemajuan dan pembangunan dapat dibina terus.

Ringkasnya, tiap-tiap perintah dan larangan, halal dan haram, dalam Islam selalu menyeru bagi kemakmuran dunia dan bekerja keras. Namun perasaan dan pemikiran tidak boleh dipalingkan dari jalan Allah dan jalan akhirat karena Islam tidak memisahkan dunia dan akhirat. Wallahu A'lam.

(penulis : hilman.pas@gmail.com)

Kamis, 09 Juni 2011

Kajian Sintaktis Mashdar

Mashdar sering diartikan sebagai isim yang di-nashab-kan yang berada pada urutan ketiga dalam tashrif fi’il setelah fi’il madhi (bentuk kata kerja lampau) dan fi’il mudhori’ (bentuk kata kerja saat ini dan yang akan datang). Tashrif itu sendiri secara bahasa artinya adalah at-taghyiir (berubah), sebagaimana dijelaskan dalam kitab Shorof al-Kailani. Yaitu memindahkan bentuk asal (pokok) ke bentuk-bentuk lain turunannya karena mengejar makna yang dimaksud oleh pengucap. Tetapi di dalam memahami bentuk asal ini, ada dua pendapat. Ulama bahasa asal Bashrah berpendapat bahwa yang menjadi asal atau pokok di dalam tashrif ini adalah mashdar, alasannya karena fi’il menunjukan kejadian atau perbuatan yang ditunjukan oleh mashdar. Artinya fi’il mengikuti mashdar dalam menunjukan suatu kejadian. (Lihat : M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, vol 15 hlm. 195-196, ketika membahas ayat pertama surat al-A’la, yaitu logika munculnya bentuk kata perintah sabbih pada ayat tersebut, dan ayat-ayat lain yang berkaitan, menjelaskan pendapat ulama Bashrah ini). Sedangkan ulama asal Kuufah berpendapat bahwa yang menjadi asal di dalam tashrif ini adalah fi’il madhi karena mashdar fungsinya hanya memperkuat (men-taokid) fi’il madhi, sedangkan yang di-taokid (diperkuat), menurut ahli Kuufah, pasti asal bagi yang men-taokid-kannya.

Menarik untuk dikaji bahwa aturan sintaktis (wazan) mashdar di dalam tashrif sangat banyak sekali, paling banyak di antara bentuk-bentuk lainnya, di mana pada tiap-tiap aturan sintaktis (wazan) fi’il bisa beraneka ragam dan memiliki spektrum yang sulit diterka, ada yang mengikuti aturan sintaktis tertentu dan ada pula yang tidak mengikutinya. Sehingga bisa dipahami apabila ada yang mengartikan mashdar sebagai isim yang bentuknya tak terbatas (infinitive noun) tidak hanya dari segi kandungan maknanya, dimana fi’il merupakan salah satu perwujudannya (dalam hal ini mashdar dikatakan sebagai kata kerja yang dibendakan), tetapi juga lafadz yang merepresentasikannya memilki spektrum wazan yang beraneka ragam. Maka dengan wazan mashdar yang beraneka ragam ini sangat sulit untuk menyebutnya sebagai asal di dalam tashrif sebagaimana teori Bashrah.

Di sisi lain, para pengkaji Kitab Alfiyyah mengetahui bahwa bab yang menguraikan berbagai operasi mashdar (i’maalul mashdar) terlebih dahulu dijelaskan dan diletakan sebelum bab yang menguraikan berbagai aturan sintaktis atau wazan mashdar (abniyyatul mashadir). Ada pendapat yang mengatakan alasan Ibnu Malik (penulis Kitab Alfiyyah) mendahulukan operasi mashdar daripada aturan sintaktis (wazan) mashdar, karena operasi mashdar menunjukan dzat mashdar yang sebenarnya. Sementara itu wazan menunjukkan sifatnya, sedangkan tidak akan ada sifat kalau tidak didahului oleh adanya dzat, menurut kaidah : ma'rifatudz dzaati muqoddamun 'alaa ma'rifati ash-shifaati. Jika operasi (amal) dikatakan sebagai dzatnya mashdar, dan dzatnya ini mendahului sifatnya, maka karakteristik bangunan (bina) fi'il yang ditunjukan oleh dzat mashdar — sesuai dengan teori Bashrah — secara tidak langsung akan mempengaruhi aturan sintaktis mashdar. Hal ini jelas terlihat pada bab abniyyatul mashadir, dimana aturan sintaktis mashdar dipengaruhi juga — paling tidak memiliki relasi — salah satunya dengan bentuk bangungan (bina) fi’il-nya.

Berikut ini beberapa catatan tentang amal mashdar di dalam kalimat, serta karakteristik bangunan dan juga aturan sintaktis mashdar untuk pengkaji ilmu nahwu tingkat lanjut, khususnya pengkaji kitab Alfiyah. Tetapi sebelum kepada pembahasan tentang berbagai aturan sintaktis mashdar di dalam tashrif, ada baiknya terlebih dahulu mengulas sedikit tentang karakteristik bangunan (bina) fi’il.

Konstruksi Bina Fi’il

Seperti diketahui fi’il (bahasa Indonesia : kata kerja) bila dilihat dari segi bangunan (bina)-nya terbagi menjadi :

  1. Fi’il bina muta’addi (transitive) yaitu apabila suatu perbuatan atau kejadian menembus faa’il (pelaku) dan sampai di maf’uul bih (objek), contoh : nashortu zaidan (نصرت زيدا) dimana pertolongan ini melewati pelaku (saya) sampai pada zaid (objek). Oleh karena perbuatan ini melewati pelaku maka fi’il bina muta’addi disebut juga bina mujaawiz, dan karena sampainya perbuatan di maf’uul bih (objek), fi’il bina muta’addi disebut pula fi’il bina waqi’.
  2. Fi’il bina ghoer muta’addi (non-transitive), yaitu apabila perbuatan atau kejadian yang direpresentasikan oleh fi’il tersebut tidak menembus faa’il, melainkan hanya sampai di faa’il, sehingga disebut juga fi’il bina laazim, artinya perbuatan yang hanya sampai di faa’il. Tetapi perbuatan demikian tidak sampai pada maf’ul bih (objek) sehingga disebut fi’il bina ghoer waaqi’.
Sementara itu fi’il bina lazim bisa menjadi fi’il bina muta’addi dengan tiga cara : (1) Dengan cara melipat 'ain fi'il (tadh'iiful 'ain) dengan tasdid, contohnya fariha jadi farroha; (2) Dengan memakai hamzah di awalnya, contoh jalasa jadi ajlastu zaidan; dan (3) Dengan menggunakan huruf jar di maf’ulnya, contoh dzahaba jadi dzahabtu bi zaidin.

Dengan catatan, kalau fi’ilnya tsulatsi mujarrod ketiga alat di atas bisa dipakai. Sedangkan kalau fi’ilnya selain tsulatsi mujarrod, baik tsulatsi mazid, ruba’i mujarrod, dan ruba’i mazid, maka cara memuta’adikannya khusus dengan menggunakan cara ketiga, yaitu melalui alat huruf jar saja, contoh intholaqtu, dimuta’addikan jadi intholaqtu bihi.

Sedangkan fi’il bina muta’addi bisa menjadi fi’il bina lazim dengan dua cara : (1) Dengan membuang alat pe-muta’addi-an (tadh’îf, hamzah, dan huruf jar) bila bina muta’addi tersebut adalah hasil dari alat pe-muta’addi-an yang tiga di atas; (2) Tetapi apabila muta’addinya karena dzatiyahnya, bukan karena alat, maka harus dimasukan ke dalam wazan fi’il yang memilki bina muthowa’ah, contoh nashoro zaidun ‘amron (نصرزيدعمرا) jadi intashoro zaidun (انتصرزيد).

Mashdar dan Isim Mashdar

Mashdar dibedakan dengan isim mashdar. Mashdar menurut ilmu Nahwu adalah :


لَفْظٌ دال على حد ث يجرى على حروف فعله

Artinya : lafadz yang menunjukan suatu kejadian yang berjalan sesuai dengan huruf-huruf fi’ilnya.

Contoh :نصرت نصرا

Sedangkan istilah isim mashdar diartikan sebagai :

لفظ دال على حدث لا يجرى على حروف فعله

Artinya : lafadz yang menunjukkan suatu kejadian yang tidak berjalan sesuai dengan huruf-huruf fi’ilnya.

Contoh :أعطى عطاء

Isim mashdar adalah lafadz yang memiliki dilaalah (penunjuk makna) sama dengan mashdar. Isim mashdar ini menggantikan kedudukan mashdar manakala terbebas (baik secara lafdzi maupun secara ma’nawi) dari sebagian yang ada dalam fi’ilnya tanpa ada pengganti, seperti 'athoo'an (عطاء). Lafadz ini sama kedudukannya dengan i'thoo'an (إعطاء). Akan tetapi berbeda dengan fi’ilnya karena terbebas dari hamzah yang ada dalam fi’ilnya. Terbebas dari hamzah baik secara lafdzi maupun taqdiiri, dan tidak ada penggantinya sama sekali.

Aritmetika Mashdar

Amal mashdar di dalam kalimat adalah mengikuti fi’ilnya dalam hal :
  1. Ke-muta’adi-an (transitivity), yaitu apabila fi’il-nya muta’adi (transitive), maka mashdarnya juga muta’adi, yaitu bisa mempunyai subjek (fa’il) dan objek (maf’ul).
  2. Ke-lazim-an (non-transitivity), yaitu apabila fi’il-nya lazim (non-transitive), maka mashdar juga lazim, yaitu hanya sampai di faa’il (dan kalimat tidak mempunyai objek atau maf’ul bih).
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan amal mashdar :
  1. Apabila mashdar tidak menunjukan isim jenis, seperti lafadz fajaarun. Maka dalam hal ini, baik ahli Kuufah maupun ahli Bashrah, menyepakati bahwa mashdar tidak beramal seperti fi’ilnya.
  2. Apabila mashdar diawali oleh mim (mashdar mimi, kecuali wazan mafaa’alatun) maka ulama Kuufah dan Bashroh sepakat bahwa mashdar beramal sebagaimana fi’ilnya.
  3. Apabila mashdar keluar dari selain wazan tsulatsi maka menurut ulama bashroh mashdar tidak beramal (contoh seperti lafadz khuluqun), sedangkan menurut ulama kufah mashdar beramal seperti biasa asalkan satu wazan dengan mashdar tsulatsi.
Mashdar beramal seperti amal fi’ilnya dalam dua tempat :
  1. Mashdar yang menggantikan kedudukan fi’ilnya
  2. Mashdar diperkirakan keberadaannya melalui an mashdariyyah (apabila amal mashdar menunjukan daerah waktu lampau atau madhi), atau maa mashdariyyah (apabila mashdar daerah waktu saat ini atau yang akan datang).
Dengan catatan, untuk mashdar yang keberadaannya diperkirakan oleh an dan ma, keduanya bisa beramal seperti amal fi’ilnya dalam tiga keadaan : (1) Mashdar dalam keadaan di-idofatkan; (2) Mashdar dalam keadaan terbebas (mujarrod) dari idofat dan al, yaitu mudhof yang ditanwinkan; dan (3) Mashdar dalam keadaan didampingi oleh al.

Sedangkan mengenai isim mashdar ia beramal sebagaimana amal fi’ilnya.

Berbagai Aturan Sintaktis Mashdar

Berdasarkan aturan sintaktisnya, secara garis besar mashdar terbagi dua :

(1) Mashdar Qiyasi,

كـــل مـصدر يرجع إلى وزن يخصه أو ضابت يضبطه

Artinya, mashdar yang memiliki aturan siontaktis (wazan) yang ditentukan atau sesuai dengan aturan tertentu.

(2) Mashdar Sama’i,

كـــل مـصدرلا يرجع إلى وزن يخصه أو ضابت يضبطه

Yakni mashdar yang tidak mengikuti wazan atau pun aturan sintaktis tertentu, tetapi muncul karena didengar sering dipakai oleh orang Arab.


Aturan Sintaktis Untuk Mencetak Mashdar

1. Aturan untuk mencetak Mashdar Qiyaasi Tsulaatsi Mujarrod

a) Untuk tsulaatsi mujarrod yang fi’il madhi-nya berwazan fa’ala
  1. Bila fi’ilnya muta’addi (transitive), sesuaikan dengan wazan fa’lun
  2. Bila fi’ilnya lazim (non-transitive), baik bina shoheh atau bina mu’tal, yang maknanya tidak menunjukan makna mencegah, berulang, penyakit, dan suara, maka sesuaikan mashdarnya dengan wazan fu’uulun
  3. Bila fi’ilnya lâzim (non-transitive), bermakna mencegah, sesuaikan dengan wazan fi’aalan
  4. Bila fi’ilnya lâzim (non-transitive), menunjukan makna berulang, sesuaikan mashdarnya dengan fa’alaanan
  5. Bila fi’ilnya lazim (non-transitive), bermakna penyakit, atau makna suara, sesuaikan mashdarnya dengan wazan fu’aalan
  6. Bila fi’ilnya lazim (non-transitive), menunjukan makna berjalan dan suara, sesuaikan mashdarnya dengan wazan fa’iilun
b) Untuk tsulatsi Mujarrod yang fi’il madhi-nya berwazan fa’ila
  1. Bila fi’il-nya muta’addi (transitive), sesuaikan mashdarnya dengan wazan fi’lan
  2. Bila fi’il-nya lazim (non-transitive), baik fi’il shoheh, mu’tal, atau pun mudho’af, untuk mencetak mashdar maka sesuaikan dengan wazan fa’alun
c) Untuk tsulatsi Mujarrod yang fi’il madhi-nya berwazan fa’ula
  1. Bila fi’il-nya muta’addi (transitive), sesuaikan mashdarnya dengan wazan fu’lan
  2. Bila fi’ilnya lazim (non-transitive), sesuaikan mashdarnya dengan wazan berikut : (2a) Fu’uulatan (فعولة) apabila isim fâ’il-nya sesuai dengan wazan fa’lun; dan
    (2b) Fa’aalatan (فعالة) apabila isim fa’il-nya sesuai dengan wazan fa’iilun
Catatan :

Untuk wazan mashdar Sama’i Tsulaatsi Mujarrod tidak mengikuti ketentuan di atas.

2. Aturan Sintaktis untuk mencetak Mashdar Qiyaasi Tsulaatsi Maziid
  1. Untuk wazan af’ala (أفعــل) yakni tsulatsi mazid warna awal bab awal, sesuaikan dengan wazan if’aalan (إفعالا). Sedangkan untuk yang mu’tal ‘ain sesuaikan dengan wazan if’aalatan (إفعالة) yang sudah biasa diberi ta laziimah (ta kelaziman) seperti aqooma-yuqiimu-iqoomatan yang asalnya iqwaaman (إقوم). Dan yang tidak biasa menggunakan ta seperti iqoomu ash-shholaah, illat tidak memakai ta karena idofah (disandarkan).
  2. Untuk wazan fa’’ala (فَعّــل) (dengan tasdid ‘ain fi’il-nya) yakni tsulatsi mazid warna awal bab kedua, sesuaikan mashdarnya dengan wazan taf’iilan (تفعيلا)dan terkadang disesuaikan dengan wazan taf’iilatan
  3. Wazan faa’ala (فاعـل), yakni tsulatsi mazid warna awal bab ketiga, sesuaikan mashdarnya dengan wazan fi’aalun(فعال) dan wazan mufaalatun
  4. Wazan tafaa’ala (تفاعل), sesuaikan mashdarnya dengan wazan tafâ’ulan
  5. Wazan tafa’’ala (تفعَّـل) sesuaikan mashdarnya dengan wazan tafa’’ulan
  6. Wazan ifta’ala(إفتعـل) sesuaikan mashdarnya dengan mashdar ifti’aalatan(إفثعالة) contoh ista’adza-yasta’idzu-isti’aadzatan, asalnya isti’wâdzan(إستعواذا) maka tukarkan huruf wau dengan alif karena illat :لتحركها فى الاصل وانفتاح ما قبلها maka jadi isti’aadzan إستعاذا .... kemudian buang alif kamashdaran diganti dengan ta simpan di akhir kalimat, maka jadi isti’âdzatan
  7. Dan untuk wazan fi’il madhi lain dalam tsulatsi mazid warna kedua (dengan huruf tambahan dua) yang diawali dengan hamzah washol, maka huruf sebelum akhir harus dipanjangkan pembacaannya dan difatahkan, dan huruf yang menempel dengan ke yang kedua harus dikasrohkan seperti wazan ifta’ala-ifti’aalan(إفتعل إفتعالا)

3. Aturan Sintaktis untuk mencetak Mashdar Qiyaasi Ruba’i Mujarrod

Fi’il berwazan fa’lala (فعلل) yaitu ruba’i mujarrod, begitu juga dengan mulhaqnya, sesuaikan mashdarnya dengan wazan fi’laalun (فعلال) (untuk mashdar samaa’i) dan wazan fa’lalatun.

4. Aturan Sintaktis untuk mencetak Mashdar Qiyaasi Ruba’i Maziid
  1. Untuk fi’il madhi berwazan tafa’lala(تفعلل) yakni fi’il Ruba’i Maziid warna awal (dengan huruf tambahan satu) sesuaikan dengan wazan tafa’lulan ((تفعلًلا dimana huruf yang ke-empat di domahkan.
  2. Untuk fi’il madhi berwazan if’alalla (إفعَـللّ) yaitu fi’il Ruba’i Mazid warna kedua (dengan huruf tambahan dua) sesuaikan dengan wazan if’illaalan (إفعِلاّلا) atau dengan wazan fu’alliilatan (فعـلِّيلة). Untuk mulhaqnya, yakni fi’il berwazan if’anlala (إفعنلل) sesuaikan mashdarnya dengan wazan if’inlâlan (إفعِنلالا), dan untuk fi’il berwazan if’anlaa (إفعنلى) sesuaikan mashdarnya dengan wazan if’inlaa’an (إفعنلاءً).

5. Aturan Sintaktis untuk mencetak Mashdar Marroh dan Mashdar Haeat

Definisi mashdar marroh : mashdar yang menunjukan makna perulangan sekali :

وهـــو مـا يــدل على مرة واحدة

Untuk mencetak mashdar marroh keluaran dari tsulatsi mujarrod, sesuaikan dengan wazan fa’latun(فعلة) .

Definisi mashdar haiat : mashdar yang menunjukan pekerjaan yang sekali dilakukan. Atau :

وهـــو مـا يــدل على هيئة الفعل الواحد

Untuk mencetak mashdar haiat yang keluar dari tsulatsi mujarrod, sesuaikan dengan wazan fi’latun(فعلة).


(Penulis : hilman.pas@gmail.com)

Sabtu, 07 Mei 2011

Menghitung Nikmat

Di dalam Al-Quran disebutkan, "Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu sangat dzalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)."

Bagi seorang hamba Allah, sesungguhnya menyadari ketidakmampuan untuk menghitung seluruh nikmat dan mensyukurinya adalah sangat penting. Karena nikmat Allah yang mengalir kepada hamba-Nya tak terhingga jumlahnya, dan oleh sebab itu boleh jadi kita tidak pernah mencoba menghitung atau tidak mau melihat ketakhinggaannya.

Karunia Allah kepada kita tak terhingga jumlahnya. Kebaikan Allah tidak pernah surut dan kenikmatan tidak terhitung banyaknya. Apalagi nikmat yang secara umum diberikan kepada setiap orang. Allah telah mengalirkan berbagai macam nikmat kepada kita. Karena itu wajib bagi kita untuk menyadari dan melihat nikmat, mensyukurinya, mengetahui nilainya, dan tidak meremehkannya.

Dalam kitab Hikam disebutkan, ada dua nikmat yang senantiasa ada di setiap mahluk (maojud), yaitu nikmat penciptaan (ni’matul iijaad) dan nikmat kelanjutan (ni’matul imdaad). Karena tiap mahluk asalnya tidak ada, maka nikmat yang pertama diterimanya ialah nikmat penciptaan Allah yang mewujudkannya. Kemudian dilanjutkan dengan nikmat kelanjutan hidup itu, yakni melengkapi kebutuhan hidup, sebab bila tidak dilengkapi kebutuhan, tidak akan dapat bertahan hidup.

Nikmat dan kebahagiaan ada dua jenis. Pertama, nikmat yang kekal dan tidak berubah, yaitu nikmat-nikmat akhirat. Kedua, nikmat yang luluh dan berubah, yaitu nikmat-nikmat dan kebahagiaan duniawi. Nikmat yang mutlak berkaitan dengan kebahagiaan abadi, yaitu nikmat iman dan islam. Itulah nikmat yang Allah perintahkan kepada kita agar selalu memintanya dalam shalat, agar Dia menunjukkan kita kepada jalan orang-orang yang diberi nikmat.

Nikmat yang terbatas adalah nikmat yang dirasakan secara umum, baik orang mukmin maupun non-mukmin, meskipun keji. Nikmat tersebut bisa berupa nikmat sehat, tercukupinya kebutuhan, kebahagiaan; kekayaan berupa uang, tanah, aset, dll; kedudukan berupa pangkat, jabatan, kekuasaan dan sebagainya.

Hal ini karena nikmat adalah bagian dari kebaikan. Bahkan nikmat itu sendiri adalah sebuah kebaikan. Kebaikan Allah yang diberikan kepada orang baik dan jahat, kafir dan mukmin, sebab semua makhluk berhak untuk memperoleh nikmat-Nya. Sedangkan kenikmatan yang mutlak hanya diberikan kepada orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebajikan.

Diriwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah sama sekali tidak mengabaikan balasan amal kebaikan orang mukmin. Kebaikan itu diberikan balasannya (yang berupa nikmat) di dunia dan kelak di akhirat juga akan dibalas. Adapun orang kafir, ia akan diberi makan disebabkan amal-amal yang ia kerjakan di dunia karena rahmat Allah, sehingga ketika di akhirat ia sudah tidak punya kebaikan untuk dibalas." Dalam riwayat lain dengan redaksi, "Sesungguhnya orang kafir apabila berbuat kebaikan, maka ia diberi makan di dunia dengan kebaikan tersebut, sedangkan orang mukmin sesungguhnya Allah akan menyimpan kebaikannya untuk diberi balasan kelak di akhirat dan di dunia juga akan diganti dengan rezeki atas ketaatannya." (HR. Muslim)

Segala sesuatu yang menyenangkan adalah nikmat yang nyata. Jika menyusahkan, maka itu juga kenikmatan. Dari satu sisi, bahwa kesusahan bisa menghapus dosa-dosa dan membuahkan pahala jika dihadapi dengan sabar. Dan dari sisi lain, ada hikmah serta rahmat yang terkandung didalamnya yang tidak diketahui olehnya. Patut diketahui bahwa kedua bentuk nikmat, baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan sama-sama memerlukan syukur dan sabar untuk menghadapinya. Namun, karena kesenangan terasa nikmat dan kesusahan terasa menyakitkan, kata syukur lebih identik dengan hal-hal yang menyenangkan dan kata sabar identik dengan hal-hal yang menyusahkan.

Kebutuhan nikmat kesusahan terhadap sabar sangatlah jelas. Adapun nikmat yang menyenangkan, pada hakikatnya ujian, cobaan, bahkan fitnah dari Allah kepada hamba-Nya. Sabar dalam menghadapi kemudahan, mensyukurinya, dan mempergunakannya untuk berbuat baik lebih berat bagi seseorang daripada bersabar dalam menghadapi kesusahan.

Seorang hamba yang apabila telah merasa asal kejadiannya dari Allah dan kelanjutannya dari Allah, merasa bahwa sifat fakirnya itu memang asli pada kejadiannya, dan ia tidak dapat melepaskan diri dari Tuhan yang dihajatkannya pada setiap detik dalam wujudnya, Dzinun Al-Misri seperti dikutip dalam kitab Hikam mengatakan : "Siapa yang di dalam bertauhid itu merasa seolah-olah sebagai hasil kecerdasannya sendiri, maka tauhid itu tidak dapat menyelamatkannya, sehingga merasa bahwa tauhidnya itu pun karunia dari Allah Ta'ala."

Wallaahu A'lam

(penulis : hilman.pas@gmail.com)

Minggu, 24 April 2011

Cahaya Penglihatan

Setiap objek pandang pada dasarnya merupakan manifestasi dari adanya cahaya penglihatan. Tanpa adanya cahaya, maka objek pandang menjadi tidak nampak, kabur atau tidak jelas. Namun benda itu pun dari segi cahaya penglihatan terbagi kepada beberapa jenis berikut :

  1. Benda yang dengan sendirinya tidak kelihatan, seperti benda-benda atau badan yang kelam (gelap).
  2. Benda yang dengan sendirinya kelihatan, tetapi tidak membuat benda-benda lain kelihatan, seperti tanah, bangunan, tumbuh-tumbuhan, batu, dan seterusnya.
  3. Benda yang dengan sendirinya kelihatan dan juga membuat benda-benda lain kelihatan, seperti bulan, matahari, bintang, atau lampu dan api yang menyala.

Nama cahaya ini diberikan kepada golongan jenis ketiga. Kadang-kadang kepada apa yang terpancar dari benda-benda yang bersinar ini dan pancaran itu terjatuh atau tertumpu kepada benda-benda yang kelam.

Sebagai contoh, bila di suatu hari yang terang kita melihat batu, dan batu itu terlihat berwarna hijau, maka itu terjadi karena ada cahaya matahari yang menyinari objek penglihatan kita, yaitu batu zeolite. Namun ketika gelap malam datang, dan lampu cahaya lenyap dari pandangan maka barulah kita sadar adanya perbedaan antara gelap dengan cahaya. Maka barulah kita meyakini bahwa cahaya itu memang ada di balik semua warna dan dilihat bersama warna. Bolehlah dikatakan bahwa oleh karena paduan persatuan cahaya dengan warna itu, sampai-sampai nyaris cahaya itu tidak disadari ada di situ. Mungkin karena terlampau terang dan nyata inilah menyebabkan cahaya tidak kelihatan, karena sesuatu yang melampaui dari hadnya akan masuk ke wilayah yang berlawanan dengannya. Karena itulah kita sadar bahwa cahaya lebih nyata bagi penglihatan, daripada objek pandangan itu sendiri.

Selanjutnya, istilah terlihat atau tidak terlihat itu adalah relatif kepada kemampuan memandang. Karena itu bisa dikatakan bahwa penglihatan itu memilki dua hal yaitu : (1) cahaya , dan (2) mata yang melihat. Karena meskipun benda itu adalah cahaya, dan cahaya itu adalah apa yang nampak, namun ia tidak nampak bagi orang-orang buta.

Dalam kitab Misykaatul Anwaar, Imam Ghazali menyebutkan bahwa ada dua jenis mata, yaitu mata zhahir, dan mata batin. Mata dzahir berupa deria (indra) pelihat atau mata biasa. Dan mata batin ialah ruh yang menggerakan penglihatan, pemahaman, pengertian, dan kesimpulan. Dan mata batin ini adalah akal.

Imam Ghazali menyebutkan ada 7 buah keterbatasan mata zhahir, yaitu sebagai berikut :

Pertama, mata itu tidak dapat melihat dirinya sendiri tetapi akal dapat melihat dirinya dan juga yang lain. Ia melihat dirinya dan tahu ketika ia diberi ilmu, kuasa dan lain-lain; dan melihat ilmunya sendiri dan melihat ilmu bagi ilmunya, dan seterusnya. Inilah keadaan mata batin yang dinamakan akal itu. Mata biasa (lahir) tidak mempunyai sifat-sifat seperti itu.

Kedua, mata biasa ini tidak dapat melihat apa yang sangat dekat dan juga yang sangat jauh. Tetapi bagi akal, tidak ada bedanya antara dekat dan jauh. Dengan sekelip mata, akal dapat naik ke langit yang paling tinggi, sekelip mata juga ia menurun ke perut bumi. Jadi, jelaslah kepada kita bahawa akal itu tidak tergantung kepada tanggapan atau idea "jauh" dan "dekat", yang mana kedua idea itu diterapkan di alam materi (kebendaan) saja, tetapi akal termasuk dalm bidang yang suci dan tinggi.

Ketiga, mata kasar ini tidak dapat melihat apa yang ada di belakang dinding, tetapi akal bebas lepas terbang sampai ke langit yang maha tinggi dan ke alamnya sendiri, dan alam ghaib. Hakikat sesuatu tidak terhijab kepada akal.

Keempat, mata melihat bagian luar sesuatu benda saja, tetapi tidak melihat bagian dalam benda itu. Ini berarti mata kasar ini hanya melihat bentuk-bentuk dan sifat-sifat fisik benda itu saja, bukan hakikat benda itu. Tetapi akal menembus batin benda itu dan terus ke rahasianya.

Kelima, mata hanya melihat sebagian saja dari keseluruhan yang ada karena semua konsep atau tanggapan dan banyaknya perkara yang dapat diketahui oleh pancaindera adalah di luar garisan pandangannya. Ia (mata) tidak melihat bumi, bau, rasa dan tidak mempunyai kemampuan mendengar, membau, merasa, bahkan semua sifat-sifat kebatinan itu tidak terlihat olehnya. Mata tidak melihat keadaan suka, duka, sedih, sakit, seronok, cinta, kemauan, kuasa, kehendak, ilmu dan lain-lain lagi. Oleh karena itu bidang mata kasar itu sangat sempit dan tindakannya terbatas. Tidak dapat melebihi lingkungan bidang warna dan bentuk. Warna dan bentuk adalah kejadian yang paling kasar karena benda-benda yang zhohir atau tabiat fisik benda ini adalah makhluk atau kejadian yang kasar.

Tetapi bidang akal ialah seluruh alam wujud, karena ia mengetahui segala kejadian yang kita sebutkan tadi dan bebas meliputi segala yang lain juga, dan dapat pula akal itu membuat keputusan yang tentu dan benar. Itulah dia rahasia batin benda-benda yang zhohir dan itulah dia bentuk-bentuk tersembunyi bagi benda-benda zhohir.

Keenam, mata tidak melihat apa yang infinite (tidak terbatas atau tidak terhad). Yang dilihatnya ialah sifat-sifat fisika dan kimia benda yang diketahui dan semua itu adalah terhad dan terbatas. Tetapi akal mengetahui tanggapan-tanggapan yang bukan sesuatu yang terhad. Memang benar, berkenaan dengan ilmu yang telah dicapai, isinya yang dikemukakan kepada akal itu adalah terhad. Namun ia mempunyai kemampuan mengetahui yang tidak terhad. Ini jika hendak diterangkan sepenuhnya memang panjang, tetapi jika saudara membutuhkan contoh, maka inilah satu contoh dari ilmu matematika.

Dalam ilmu ini akal memahami angka bulat atau angka penuh (bukan pecahan) dan ini tidak terhad atau tidak ada batasnya, dari mulai negatif tak hingga sampai kepada positif tak hingga. Juga, akal tahu angka-angka sebelum dua, tiga dan lain-lainnya; dan ini pun tidak ada hadnya. Akal juga tahu semua perkaitan yang berbeda-beda antara nomor-nomor itu, dan ini juga tidak terhad. Akhirnya akal mengetahui pengetahuannya sendiri tentang sesuatu perkara. Tahunya akal tentang pengetahuan itu pun tidak terbatas.

Ketujuh, bagi mata, benda yang besar bisa tampak kecil. Ia melihat matahari sebesar mangkuk dan bintang sebesar mutiara yang bertaburan di atas permadani biru. Tetapi akal mengetahui bahwa matahari dan bintang itu besar, bahkan lebih besar dari bumi. Kepada mata, bulan itu nampak tidak bergerak. Tetapi bagi akal, bulan itu bergerak mengelilingi bumi.

Karena itu, akal lah yang sesungguhnya lebih pantas disebut sebagai cahaya penglihatan. Mata kasar atau mata zahir itu sebenarnya gelap. Penglihatan mata kasar ini adalah semata-mata satu dari alat pengintip bagi akal. Akal memberi mata satu tugas untuk melihat perkara yang kasar, yaitu warna, bentuk, ukuran dan sifat-sifat fisika yang lain.

Ruh akal orang yang melihat adalah elemen yang tidak dapat dipisahkan dari cahaya yang dilihat itu, dan begitu pula dengan objek pandang yang nampak atau tidak nampak oleh mata biasa. Bahkan ruh akal itu lebih penting, karena sekalipun penglihatan mata memiliki kecacacatan dan keterbatasan, serta karena objek pandang yang tersembunyi, atau senantiasa berubah-berubah, namun ruh akal memiliki kemampuan yang melampauianya. Ruh akal itulah cahaya, yang melebihi cahaya penglihatan mata. Ruh orang yang melihat itulah yang mengerti dan melalui ruh itulah pemahaman atau pengertian terjadi atau terjelma.

(Penulis : hilman.pas@gmail.com)

Minggu, 13 Maret 2011

Tiga Alat Penangkap Ilmu Menurut Imam Ghazali

Ilmu adalah penerang (cahaya) agar bisa mengantarkan manusia ke tujuan esensialnya. Dan ilmu diperoleh melalui alat atau sarana yang ada di dalam diri manusia itu sendiri. Kuncinya ada pada kata perintah iqro, yaitu perintah untuk membaca. Dan salah satu yang harus dibaca adalah subjek (atau pelaku) yang mengerjakan amal atau tindakan tertentu.

Dalam upaya memperoleh ilmu, manusia menduduki posisi utama tidak hanya sebagai subjek tetapi juga objek ilmu. Manusia sebagai objek ilmu artinya ialah meneliti kerangka kerja ilmiah yang dihasilkan manusia; dalam posisi ini manusia me-mashdar-kan kerja (amal) yang dilakukannya sehingga bisa ditelusuri potensi-potensi dalam diri manusia yang bisa dijadikan sarana untuk mendapatkan ilmu. Upaya ini sekaligus bisa mempertahankan objektivitas ilmu itu sendiri. Dalam berbagai disiplin ilmu, sekalipun dalam sains modern disadari bahwa, mengetahui potensi-potensi dalam diri manusia sebagai sarana memperoleh ilmu adalah penting dalam upaya mempertahankan objektivitas ilmu itu sendiri.

Potensi-potensi dan alat dalam diri manusia yang capable dijadikan sarana mendapatkan ilmu menurut Imam Ghazali dalam berbagai kitabnya ada tiga : 1) Panca Indera, 2) Akal, dan 3) Intuisi.

1. Panca Indera

Panca indera (hawaasul khamsi) yang terdiri dari indera penglihat (mata), indera pendengar (telinga), indera perasa (lidah), indera pencium (hidung), dan indera peraba (kulit), merupakan sarana penangkap ilmu paling awal yang muncul dalam diri manusia. Semua maojud yang ditemukan oleh hissi ini yang disebut mahsuusaat serta temuan-temuan empiris yang disebut mujarrobaat termasuk dua dari lima pengetahuan a priori (daruri).

Namun temuan hissi memiliki batasan ketika hendak mengungkap maojud yang tidak occupying space, seperti monad-monad (units) yang tidak menempati ruang dan tidak tersentuh (misalnya titik geometris dan elemen untuk ruang; temporal instant dan transisi kinetis untuk waktu dan gerak). Ketika misalnya hendak mengungkap interdependensi ruang-waktu, atau ketika menelaah ketersambungan cause dan effect dalam ruang-waktu tersebut, maka monad-monad tersebut mutlak harus ada. Karena itu, hukum-hukum yang kemudian ditetapkan berdasarkan temuan hissi ini yang disebut hukum kausalitas (hukum ‘adat) harus diuji tidak hanya secara empiris (untuk kepentingan praktis saja) tetapi juga secara metafisis dengan melibatkan dalil-dalil akal melalui ilmu logika (mantiq).

Maojud yang bukan objek hissi ialah maojud yang tidak kena oleh sentuhan dan jarak spasial tetapi ketersambungannya dapat diketahui oleh ilmu logika (mantiq). Maka dalam masalah-masalah metafisika, misalnya konsep discrete dan continue, finite dan infinite, monad, form; mengenai hakikat (esensi) semua maojud, bila kesimpulan hissi menyalahi kesimpulan akal, maka akal yang harus didahulukan.

Bahkan dalam masalah-masalah metafisis seperti ini akal perlu sebisa mungkin membebaskan diri dari pengaruh-pengaruh hissi. Jika tidak demikian maka akan terjadi pengaburan akurasi, dan yang ditemukan bukan lagi objek hissi yang a priori (daruri) melainkan seperti fatamorgana di tanah yang datar (ka saroobin bi qii’ah) yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga tetapi setelah didatangi air tersebut ternyata tidak ada. Kekaburan akurasi inilah yang disebut dengan "waswas" (keraguan-absolut destruktif) yang merusak jiwa manusia, dan termasuk sifat yang dikehendaki oleh setan ada di dalam diri manusia. Sedangkan akal adalah petunjuk yang meluruskan dan menajamkan akurasi dari kekaburan hissi ini.

2. Akal

Para ahli bahasa pada umumnya sepakat bahwa akal (‘aql) berasal dari kata iqaal yang berarti tali pengikat yang kuat, dan ma’qool yang berarti sesuatu yang berbenteng kuat di puncak gunung yang tak terjangkau oleh tangan manusia karena kokoh dan kuatnya. Penamaan daya kemampuan ini dengan akal (aql) menunjukan urgensi potensialitas dan kapabilitasnya sendiri. Dalam Misykaat al-Anwaar, Imam Ghazali meyakinkan bahwa potensi akal cukup capable untuk menangkap bukan saja objek yang terbatas (finite), tetapi juga yang tak terbatas (infinite). Maojudnya meliputi yang discrete maupun yang continue, finitely divisible maupun yang infinitely divisible. Bahkan dalam Ihya al-‘Ulumuddin Al-Ghazali menyediakan satu bab khusus untuk membicarakan keluhuran dan kemuliaan akal, jenis-jenisnya serta sifat, fungsi dan kapabilitasnya.

Dalam arti metafisis akal identik dengan atau bertempat di hati (qalbu) yaitu sebagai sinar lathiif atau sirr ruhani, sebagai inti hakikat manusia. Dalam arti ini akal gharizi siap menerima ilmu-ilmu a priori (daruri) yang kebenarannya aksiomatis dan jelas (badihi) dan siap menerima ilmu-ilmu inferensial/a posteriori (nadzori), yang keduanya merupakan nafsul ‘uluum (jiwa atau semangat ilmu), dan menduduki posisi yang sangat penting dalam perkembangan kedewasaan manusia, dan merupakan batas utama manusia masuk ke gerbang mukallaf (yang tertaklif hukum).

Ketajaman dan akurasi akal adakalanya terkaburkan oleh pengaruh daya imajinasi (khayal) dan daya estimasi (wahm) yang dinisbatkan dengan pengalaman hissi. Maka akal ini laksana cermin yang apabila ia bersih dan murni maka ia bisa merefleksikan objek sebagaimana realitasnya. Kalaupun pemikiran seseorang salah, kesalahan bukan terletak pada akalnya, tetapi karena ia dikuasai oleh khayal dan wahm, kecuali apabila akalnya cacat (tidak berakal).

Maka untuk menjamin cara berpikir dan proses penalaran yang sah sehingga bisa sampai kepada bentuk akal ini diperlukan sarana yang dapat meluruskan dan menjaga kemurniannya, yaitu melalui logika (mantiq). Di sinilah peran penting ilmu logika sebagai mukadimah ilmu-ilmu seluruhnya, dan sebagai neraca dan timbangan yang lurus (al-Qisthos al-Mustaqiim). Dan orang yang tidak menguasai ilmu logika, menurut Al-Ghazali, ia pada dasarnya belum mempercayai kebenaran ilmu yang dimilkinya. Anna man laa ma’rifata lahuu bi al-mantiqi, laa yuu tsaqu bi ‘ilmihii. (Al-Mustashfa, jld I, hlm. 10)


3. Intuisi

Beberapa kitab yang ditulis Al-Ghazali menyinggung seperlunya mengenai potensi intuisi ini, dan ia tidak membahasnya dalam potensi tersendiri, kecuali misalnya dalam kitab Misykaat al-Anwaar yang menyebut potensi lain di atas akal, yaitu ruh quds nabawi yang dimiliki oleh para nabi dan wali, yang memiliki daya kemampuan menangkap maojud di luar tangkapan akal, atau yang disebut maojud transendental. Ahli tafsir dan ulama kontemporer, M. Quraish Shihab, menisbatkan objek (di dalam bukunya), Yang Tersembunyi, dengan mulai menelaah ulasan Al-Ghazali dalam Misykat di atas, seperti keberadaan makhluk-makhluk ghaib seperti iblis, jin dan malaikat.

Di lain kitab Al-Ghazali, dalam al-Munqidz min adl-Dlolaal, diintroduksikan istilah zauq yang searti dengan wijdaan yang sering diartikan dengan intuisi. Dalam kitab Maqaashid al- Asnaa, Imam Ghazali menekankan bahwa apa yang tersingkap oleh kasyfi intuitif hendaklah tetap dikontrol oleh akal, sehingga semua klaim tentang hal kasyfi yang irasional, hanyalah kepalsuan belaka, dan bahwa syari’at tidak gugur dengan haqiqat melainkan terintegrasi. Dan bahwa kewalian adalah permulan kenabian. Bagi yang wushul, yang telah mencapai tahap kasyfi, hendaklah ia menghindarkan dari dari keinginan untuk fana, dan tetap berada dalam koridor sebagaimana manusia sewajarnya. Tidak ada alasan untuk menggurkan syari’at, karena yang menggugurkan taklif syara sekalipun keluar dari yang mengkalim dirinya telah wushul hanyalah ambisi kemewahan semata, dan dorongan syahwat yang menunjukan karakter rendah. Maka tandingilah keinginan itu dengan upaya untuk berbuat kebaikan yang seluas-luasnya bagi umat manusia dengan berpijak pada prinsip ikhlas.

Apa yang luput dari Al-Ghazali, dan mungkin juga secara substansial tidak muncul dalam telaah terhadap karya-karya Al-Ghazali, ialah mengenai potensi dan kapabilitas intuisi fisis (physical intuition), sehingga intuisi ini terbagi dua yaitu intuisi fisis dan intuisi transendental.

Yang dapat kita pahami dari intuisi fisis ini dapat memberikan perumpamaan untuk bisa memahami intuisi transendental. Intuisi fisis ialah intuisi yang dapat mengidrok objek-objek fisis (maojuud hissi) sekalipun indera tidak menjangkaunya, sehingga laporannya tentang dunia hissi sampai ke akal. Sekalipun orang buta atau tuli secara dzohir tidak mampu menangkap objek fisis karena keterbatasannya, tetapi ia tetap memiliki intuisi tentang dunia fisis, seperti adanya gerak, adanya suara, adanya warna, yang informasi demikian ini sangat vital bagi akal, namun tidak sedetail apa yang dapat ditangkap oleh indera dan akal. Bagi akal tidak ada bedanya, baik bagi orang buta (termasuk buta warna) atau pun yang tidak buta, tetap tidak menggeser akurasi akal. Maka celakalah orang yang membeda-bedakan antara orang yang cacat (terbatas) inderanya dengan yang tidak, karena Alloh sendiri tidak membeda-bedakannya.

Intuisi fisis bisa jadi pula apa yang disebut oleh Al-Ghazali ruh khayaali-aqli dalam Misykaat al-Anwaar. Intuisi fisis ini layaknya intuisi transendental, ia diumpamakan seperti lubang cahaya penglihatan yang tak tembus oleh indera, sekalipun kita tidak mampu menjangkau dan tidak dapat menjelajahi luasnya, tetapi kita bisa mengetahui akan maojudnya. Namun keduanya berbeda wilayahnya, intuisi fisis di wilayah dunia fisis yang tak terjangkau indera, dan intuisi transendental di wilayah metafisis yang tak terjangkau akal.

(penulis : hilman.pas@gmail.com)

Sabtu, 25 Desember 2010

Tasbih

Tasbih menurut bahasa artinya berenang menjauh, merupakan bentuk mashdar (infinitive noun) dari sabbaha (fi’il madhi/past tense) dan yusabbihu (fi’il mudhori/present tense). Sabbaha berarti juga mengalir melalui suatu medium; seseorang yang berenang menjauh pada dasarnya dia mengalir melalui air sehingga setiap saat selalu berubah dan menjauh dari posisi semula (Lihat misalnya : Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, vol. 15 hlm. 195-196).

Fenomena gerak di alam ini merupakan petunjuk nyata untuk memahami pengertian tasybih secara lebih mendalam. Dari adanya fenomena gerak dapat diketahui bahwa alam semesta ini senantiasa berubah. Serta dengan mengetahui adanya waktu yang senantiasa mengalir, dapat diketahui bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini adalah bertasybih dan senantiasa bertasabih karena semuanya bergerak dan menempel dalam aliran waktu sehingga setiap saat selalu berubah dan menjauh dari posisinya semula. Semua yang berubah otamatis dia baru (haadits) dari maojud sebelumnya, karena jika waktu diiris sampai ke satuan (monad) waktu terkecil semua yang menempel di waktu adalah maojud baru dari maojud sebelumnya. Tetapi karena waktu selalu bergerak ke arah positif (dan ruang tempat alam semesta ini berada bergerak ke arah negatif), maka maojud lama berubah menjadi maojud baru terlepas dari apakah waktu dipersepsi/diperlakukan sebagai waktu continue (muttashol) atau diskret (munfashol). Pada level pengalaman hissi (empiris), pada umumnya para Filosof sejak awal sejarah filsafat tidak mengingkari adanya fenomena gerak di alam ini. Heraclitus pada abad ke-6 SM mengatakan : All things flow (panta rhei). Segala sesuatu di alam ini mengalir (dalam aliran waktu) sehingga moujudnya selalu berubah dan baru setiap saat. Maka tidak ada keraguan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini bertasbih.

Hukum Kausalitas Bukan Tujuan

Adanya perubahan di alam ini merupakan pengetahuan yang langsung berkaitan dengan pengalaman. Dikatakan bahwa perubahan (change) di alam ini adalah ma’lum ‘alal hissi (pengetahuan berdasarkan pengalaman) karena sesuai dengan intuisi fisis kita dan dibuktikan adanya oleh pengalaman hissi (indrawi). Kita mengetahui bahwa segala sesuatu berubah dari adanya gerak objek-objek di sekitar kita, yaitu ruang yang berisi objek-objek penglihatan kita yang langsung dapat kita amati melalui pengalaman hissi (indrawi). Objek yang dapat kita idrok dengan hissi adalah objek-objek fisis yang menempati ruang yang pas baginya untuk maojud. Objek demikian dikatakan sebagai jauhar karena jirimnya ada. Tiap-tiap jirim memiliki sifat (‘arodl) yang menempel kepadanya, seperti sifat-sifat fisika. Maka segala sifat yang menempel pada ruang juga mengikuti hukum-hukum ruang. Hukum ruang yang dimaksud adalah hukum kausalitas atau disebut sebagai hukum ‘adat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh sering terjadinya berdasarkan pengalaman empiris (tikror 'alal hissi).

Hukum kausalitas ialah hukum yang ditetapkan oleh 'adat atau kebiasaan yang terjadi berulangkali. Definisi 'adat dalam ilmu tauhid ialah bertemunya sebab (cause) dan akibat (effect) yang saling berhubungan. Kata bertemu (ittishol) dan berkaitan (irtibath) harus ada dalam hukum 'adat, tetapi ditemukannya persambungan 'adat menunggu pembuktian hissi (pengalaman indrawi). Karena itu hukum-hukum yang ditetapkan oleh 'adat bersifat spasial karena bisa gugur apabila diidrok bukti hissi yang baru.

Hukum 'adat menyatakan postulat implikasi material : Jika A maka B, dimana A sebab (cause) dan B akibat (effect); A dan B bertemu (ittishol) dan berkaitan (irtibath). A dan B bisa berupa :

  1. Objek fisik, seperti air, api, angin, kayu, kincir, dll.
  2. Fenomena, seperti gerak, panas, kelistrikan, kemagnetan, dll.
  3. Situsi, seperti siang, malam, pagi, pegunungan, laut, dll.
  4. Kejadian, seperti angin berhembus, kincir angin bergerak, kapal berlayar, dll.

Pengertian ittishol dan irtibath ada dua :

  1. Adanya kontak ruang antara sebab dan akibat, atau paling tidak ada benda intermediet yang mengkoneksikan antara sebab dan akibat sehingga terbentuk rantai yang saling berkaitan antara sebab dan akibat. Disebut continguity.
  2. Adanya perurutan waktu, yaitu sebab mendahui (atau paling tidak simultan) terhadap akibat. Disebut antecedent.

Keduanya bersifat hissi, dan sebagaimana dinyatakan oleh para ahli bahwa keduanya valid (sah) hanya pada level pengalaman manusia, tetapi belum tentu valid pada level akal manusia. Sebabnya adalah hukum-hukum kausalitas bersifat spasial, dan yang diidrok oleh pengalaman hissi juga spasial yaitu objek-objek yang menempati ruang pengamatan. Oleh karena objek-objek spasial senantiasa bergerak dan berubah, yang otomatis baru (haadits), maka kausalitas juga baru, sehingga hukum yang ditetapkan oleh 'adat adalah hukum-hukum tentang objek-objek alam yang baru. Karena kausalitas baru, maka hubungan antara sebab dan akibat pada hakikatnya adalah hubungan kesempatan (chance), dari satu maojud lama (yang disebut sebab) ke maojud baru (yang disebut akibat). Dalam arti bahwa, sebab tidak memiliki kemampuan membuat atsar (jejak) pada akibat, dan akibat bukan barang ciptaan sebab.

Ruang dengan sendirinya tidak memberikan pesan apa-apa, selain dari kebaruan objek-objek yang dilingkupinya. Begitupula kausalitas, sebab adalah maojud lama sebelum tibanya maojud baru. Karena itu, keberadaan kausalitas menunggu waktu. Dan hukum yang ditetapkan oleh kausalitas adalah hukum-hukum tentang objek-objek baru.

Keberadaan kausalitas di alam yang senantiasa menampilkan kebaruannya menunjukan bahwa kausalitas dan hukum yang ditetapkan oleh kausalitas (hukum 'adat) bukanlah tujuan tetapi merupakan satu petunjuk kepada adanya aliran waktu. Yang otomatis, karena perannya sebagai penunjuk, tidak adanya penunjuk (dal) atau tidak berlakukanya hukum kausalitas di alam tidak menyebabkan tidak ada yang ditunjukinya (madlul). Secara umum peran kausalitas adalah untuk memahami petunjuk (dilalah), yaitu untuk mengetahui sesuatu (madlul) dari sesuatu (dal). Kausalitas, seperti pergantian siang dan malam, bergeraknya angin, terjadinya hujan, berlayarnya kapal di lautan, terbangnya burung, adalah tanda bahwa mereka mengalir mengikuti aliran waktu, dan aliran waktulah yang menampilkan hukum kausalitas muncul dan hilang. Aliran waktu pula yang memberi pesan bahwa ada sesuatu yang lebih penting dari mengetahui sebab, akibat dan hukum kausalitas, yaitu mengetahui tujuan dari berlakunya hukum kausalitas sebagaimana yang diilustrasikan oleh adanya aliran waktu.

Tidak berlakuknya hukum kausalitas (khawariqun lil 'adat) adalah sah menurut akal dari data-data positif tentang gerak, perubahan dan aliran waktu.

Aliran Waktu

Sesuatu dikatakan bergerak apabila posisinya berubah dari saat yang lalu (madhi/past tense) ke saat sekarang (haal/present tense). Sesuatu dikatakan diam (tidak bergerak) apabila ia tidak memiliki perubahan posisi diantara waktu sekarang (haal) dan waktu berikutnya (mustaqbal). Tetapi karena tidak ada nanti (mustaqbal) di dalam sekarang (haal), maka tidak ada yang disebut diam. Terdapat perbedaan di dalam menjelaskan fenomena gerak antara Zeno dan Aristoteles. Zeno lebih menekankan pandangan filosofis gurunya (Parmanides) terhadap fenomena gerak, yaitu pada hakikatnya gerak itu tidak ada dan perubahan di alam ini adalah ilusi saja. Sedangkan Aristoteles lebih menekankan kepada penjelasan fisis sehingga paradox gerak dapat diresolusi tanpa mengganggu intuisi fisis tentang adanya gerak di alam. Namun demikian keduanya sepakat bahwa baik diam ataupun bergerak keduanya berada dalam waktu.

Sesuatu yang bergerak (taghoyyur) otomatis berubah sekalipun gerak lurus beraturan sempurna. Keberadaan waktu identik dengan adanya gerak di alam sehingga gerak dan waktu adalah dua fenomena untuk mengungkapkan hal yang sama. Waktu adalah (dibentuk oleh) gerak, sedangkan gerak adalah perubahan objek-objek yang menempati ruang, karena waktu bersifat transitif terhadap perubahan alam, tidak ada perbedaan antara "ruang" dan waktu, tetapi ruang yang dimaksud bukanlah ruang dalam pengertian 'adat (yaitu ruang yang ditemukan oleh pengalaman hissi), melainkan ruang yang ditemukan oleh 'akal, atau ditulis ruang-waktu (spacetime).

Waktu selalu mengalir ke arah positif. Dari kemarin menuju saat ini dikatakan berarah positif karena dengan aliran tersebut saat ini hadir dalam pengalaman kita setelah sebelumnya (kemarin) lenyap dari pengalaman. Tetapi ruang berarah negatif karena ketika ia ada, berikutnya ia lenyap dan digantikan dengan maojud yang baru. Dalil akal pertama terhadap gerak dan perubahan di alam adalah dalil waktu, yaitu waktu selalu mengalir dari saat yang lalu ke saat ini, dan dari saat ini waktu mengalir menuju masa depan. Dapat dikatakan bahwa peran waktu adalah sebagai medium yang mengantarkan kausalitas kepada tujuannya.

Perubahan, gerak dan medan kerja hukum-hukum kausalitas terjadi pada level pengalaman spasial (hissi/empiris). Di level akal bentuk ruang yang ditemukan adalah ruang-waktu, yaitu bentuk akal matematis. Dan level akal ini termasuk 'akal thobi'i yaitu akal yang menjiwai hukum-hukum kausalitas. 'Akal murni adalah akal yang tidak dipengaruhi oleh pengalaman spasial. 'Akal murni dapat menembus kausalitas sehingga disebut 'akal ghorizi.

Sebagaimana kausalitas, waktu juga memiliki tujuan yang dapat memperkuat argumennya sebagai medium. Tujuan dari waktu adalah gerak, berubah dan menampilkan kebaruan alam serta membawa unsur paling murni dari alam yang tetap tidak berubah sepanjang ia dapat mengetahui hukum-hukum kebaruan alam serta mengetahui adanya pencipta alam yang terbebas dari sifat-sifat baru yang ada di alam. Unsur paling murni dari alam semesta ini adalah intisari dari alam, yaitu akal ('aqlu). Yaitu karena adanya waktu (ruang-waktu) ditemukan oleh akal, dan termasuk wujud ‘aqli mumatsalah. Artinya keberadaannya menyerupai wujud ‘ady ruang (spacelike) yang baru. Oleh karena itu wujud waktu juga baru (hadits). Tetapi adapula waktu yang terdeteksi oleh hissi, sehingga jejaknya ketahuan ada dan dapat diukur oleh pengalaman, yaitu disebut wujud ‘ady waktu (timelike).

Hikmah

Dengan filosofi tasbih seperti dikemukakan di atas, seseorang akan memandang alam semesta ini bukan sebagai benda mati melainkan hidup bertasbih kepada Alloh (sabbaha lillah) dan senantiasa bertasbih kepada Alloh (yusabbihu lillah). Seorang yang berfilosofi tasbih akan senantiasa menjaga bumi dari keruksakan, menghormati bumi, dan memperlakukan bumi sesuai dengan apa yang dikehendaki bumi yaitu pada hakikatnya adalah bertasbih kepada Alloh.

Tasbih dalam terminologi agama berarti menjauhkan Alloh dari segala sifat kekukarangan dan kelemahan, otomatis membersihkan Alloh dari segala sifat baru (haadits) yang ada di makhluk. Berenang menjauh dalam aliran waktu berarti memurnikan pikiran, yaitu meluruskan jalan pikiran dengan akal yang murni untuk bertauhid kepada Alloh seraya mensucikan segala sifat-sifat di Alloh yang tersentuh oleh pikiran manusia. Menurut ahli tasawuf, pikiran manusia ada diantara akal dan syahwatnya. Dengan memurnikan pikiran lewat akalnya, manusia akan menemukan pencipta alam yang terbebas dari segala kekurangan dan ketidaksempurnaan, sekaligus akan membersihkan si pengucap dari kekotoran yang membuat dia terbias atau melenceng dari gerak tasbih alam semesta. Dengan bertasbih, para musabbih (pengucap tasbih) menghadirkan kemurnian akal dalam benaknya seraya mengucapkan : Subhaanalloh. Maha suci Alloh, kami semua adalah makhluk yang senantiasa goyah, berubah dan baru. Maha Suci Alloh, karena Dia lah yang Maha Sempurna, Pencipta langit dan bumi, yang membuat kami hadir di sini atas kehendak-Nya, berubah dan bergerak atas kehendak-Nya, dan atas perinyah-Nya pula kami hadir di sini mengenal Alloh dengan jalan bertasbih. Sabbihisma Robbika al-A'la.

Wallohu A'lam

(Penulis : hilman.pas@gmail.com, sumber : prmana.blogspot.com)