Pages

Sabtu, 25 Desember 2010

Tasbih

Tasbih menurut bahasa artinya berenang menjauh, merupakan bentuk mashdar (infinitive noun) dari sabbaha (fi’il madhi/past tense) dan yusabbihu (fi’il mudhori/present tense). Sabbaha berarti juga mengalir melalui suatu medium; seseorang yang berenang menjauh pada dasarnya dia mengalir melalui air sehingga setiap saat selalu berubah dan menjauh dari posisi semula (Lihat misalnya : Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, vol. 15 hlm. 195-196).

Fenomena gerak di alam ini merupakan petunjuk nyata untuk memahami pengertian tasybih secara lebih mendalam. Dari adanya fenomena gerak dapat diketahui bahwa alam semesta ini senantiasa berubah. Serta dengan mengetahui adanya waktu yang senantiasa mengalir, dapat diketahui bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini adalah bertasybih dan senantiasa bertasabih karena semuanya bergerak dan menempel dalam aliran waktu sehingga setiap saat selalu berubah dan menjauh dari posisinya semula. Semua yang berubah otamatis dia baru (haadits) dari maojud sebelumnya, karena jika waktu diiris sampai ke satuan (monad) waktu terkecil semua yang menempel di waktu adalah maojud baru dari maojud sebelumnya. Tetapi karena waktu selalu bergerak ke arah positif (dan ruang tempat alam semesta ini berada bergerak ke arah negatif), maka maojud lama berubah menjadi maojud baru terlepas dari apakah waktu dipersepsi/diperlakukan sebagai waktu continue (muttashol) atau diskret (munfashol). Pada level pengalaman hissi (empiris), pada umumnya para Filosof sejak awal sejarah filsafat tidak mengingkari adanya fenomena gerak di alam ini. Heraclitus pada abad ke-6 SM mengatakan : All things flow (panta rhei). Segala sesuatu di alam ini mengalir (dalam aliran waktu) sehingga moujudnya selalu berubah dan baru setiap saat. Maka tidak ada keraguan bahwa segala sesuatu di alam semesta ini bertasbih.

Hukum Kausalitas Bukan Tujuan

Adanya perubahan di alam ini merupakan pengetahuan yang langsung berkaitan dengan pengalaman. Dikatakan bahwa perubahan (change) di alam ini adalah ma’lum ‘alal hissi (pengetahuan berdasarkan pengalaman) karena sesuai dengan intuisi fisis kita dan dibuktikan adanya oleh pengalaman hissi (indrawi). Kita mengetahui bahwa segala sesuatu berubah dari adanya gerak objek-objek di sekitar kita, yaitu ruang yang berisi objek-objek penglihatan kita yang langsung dapat kita amati melalui pengalaman hissi (indrawi). Objek yang dapat kita idrok dengan hissi adalah objek-objek fisis yang menempati ruang yang pas baginya untuk maojud. Objek demikian dikatakan sebagai jauhar karena jirimnya ada. Tiap-tiap jirim memiliki sifat (‘arodl) yang menempel kepadanya, seperti sifat-sifat fisika. Maka segala sifat yang menempel pada ruang juga mengikuti hukum-hukum ruang. Hukum ruang yang dimaksud adalah hukum kausalitas atau disebut sebagai hukum ‘adat, yaitu hukum yang ditetapkan oleh sering terjadinya berdasarkan pengalaman empiris (tikror 'alal hissi).

Hukum kausalitas ialah hukum yang ditetapkan oleh 'adat atau kebiasaan yang terjadi berulangkali. Definisi 'adat dalam ilmu tauhid ialah bertemunya sebab (cause) dan akibat (effect) yang saling berhubungan. Kata bertemu (ittishol) dan berkaitan (irtibath) harus ada dalam hukum 'adat, tetapi ditemukannya persambungan 'adat menunggu pembuktian hissi (pengalaman indrawi). Karena itu hukum-hukum yang ditetapkan oleh 'adat bersifat spasial karena bisa gugur apabila diidrok bukti hissi yang baru.

Hukum 'adat menyatakan postulat implikasi material : Jika A maka B, dimana A sebab (cause) dan B akibat (effect); A dan B bertemu (ittishol) dan berkaitan (irtibath). A dan B bisa berupa :

  1. Objek fisik, seperti air, api, angin, kayu, kincir, dll.
  2. Fenomena, seperti gerak, panas, kelistrikan, kemagnetan, dll.
  3. Situsi, seperti siang, malam, pagi, pegunungan, laut, dll.
  4. Kejadian, seperti angin berhembus, kincir angin bergerak, kapal berlayar, dll.

Pengertian ittishol dan irtibath ada dua :

  1. Adanya kontak ruang antara sebab dan akibat, atau paling tidak ada benda intermediet yang mengkoneksikan antara sebab dan akibat sehingga terbentuk rantai yang saling berkaitan antara sebab dan akibat. Disebut continguity.
  2. Adanya perurutan waktu, yaitu sebab mendahui (atau paling tidak simultan) terhadap akibat. Disebut antecedent.

Keduanya bersifat hissi, dan sebagaimana dinyatakan oleh para ahli bahwa keduanya valid (sah) hanya pada level pengalaman manusia, tetapi belum tentu valid pada level akal manusia. Sebabnya adalah hukum-hukum kausalitas bersifat spasial, dan yang diidrok oleh pengalaman hissi juga spasial yaitu objek-objek yang menempati ruang pengamatan. Oleh karena objek-objek spasial senantiasa bergerak dan berubah, yang otomatis baru (haadits), maka kausalitas juga baru, sehingga hukum yang ditetapkan oleh 'adat adalah hukum-hukum tentang objek-objek alam yang baru. Karena kausalitas baru, maka hubungan antara sebab dan akibat pada hakikatnya adalah hubungan kesempatan (chance), dari satu maojud lama (yang disebut sebab) ke maojud baru (yang disebut akibat). Dalam arti bahwa, sebab tidak memiliki kemampuan membuat atsar (jejak) pada akibat, dan akibat bukan barang ciptaan sebab.

Ruang dengan sendirinya tidak memberikan pesan apa-apa, selain dari kebaruan objek-objek yang dilingkupinya. Begitupula kausalitas, sebab adalah maojud lama sebelum tibanya maojud baru. Karena itu, keberadaan kausalitas menunggu waktu. Dan hukum yang ditetapkan oleh kausalitas adalah hukum-hukum tentang objek-objek baru.

Keberadaan kausalitas di alam yang senantiasa menampilkan kebaruannya menunjukan bahwa kausalitas dan hukum yang ditetapkan oleh kausalitas (hukum 'adat) bukanlah tujuan tetapi merupakan satu petunjuk kepada adanya aliran waktu. Yang otomatis, karena perannya sebagai penunjuk, tidak adanya penunjuk (dal) atau tidak berlakukanya hukum kausalitas di alam tidak menyebabkan tidak ada yang ditunjukinya (madlul). Secara umum peran kausalitas adalah untuk memahami petunjuk (dilalah), yaitu untuk mengetahui sesuatu (madlul) dari sesuatu (dal). Kausalitas, seperti pergantian siang dan malam, bergeraknya angin, terjadinya hujan, berlayarnya kapal di lautan, terbangnya burung, adalah tanda bahwa mereka mengalir mengikuti aliran waktu, dan aliran waktulah yang menampilkan hukum kausalitas muncul dan hilang. Aliran waktu pula yang memberi pesan bahwa ada sesuatu yang lebih penting dari mengetahui sebab, akibat dan hukum kausalitas, yaitu mengetahui tujuan dari berlakunya hukum kausalitas sebagaimana yang diilustrasikan oleh adanya aliran waktu.

Tidak berlakuknya hukum kausalitas (khawariqun lil 'adat) adalah sah menurut akal dari data-data positif tentang gerak, perubahan dan aliran waktu.

Aliran Waktu

Sesuatu dikatakan bergerak apabila posisinya berubah dari saat yang lalu (madhi/past tense) ke saat sekarang (haal/present tense). Sesuatu dikatakan diam (tidak bergerak) apabila ia tidak memiliki perubahan posisi diantara waktu sekarang (haal) dan waktu berikutnya (mustaqbal). Tetapi karena tidak ada nanti (mustaqbal) di dalam sekarang (haal), maka tidak ada yang disebut diam. Terdapat perbedaan di dalam menjelaskan fenomena gerak antara Zeno dan Aristoteles. Zeno lebih menekankan pandangan filosofis gurunya (Parmanides) terhadap fenomena gerak, yaitu pada hakikatnya gerak itu tidak ada dan perubahan di alam ini adalah ilusi saja. Sedangkan Aristoteles lebih menekankan kepada penjelasan fisis sehingga paradox gerak dapat diresolusi tanpa mengganggu intuisi fisis tentang adanya gerak di alam. Namun demikian keduanya sepakat bahwa baik diam ataupun bergerak keduanya berada dalam waktu.

Sesuatu yang bergerak (taghoyyur) otomatis berubah sekalipun gerak lurus beraturan sempurna. Keberadaan waktu identik dengan adanya gerak di alam sehingga gerak dan waktu adalah dua fenomena untuk mengungkapkan hal yang sama. Waktu adalah (dibentuk oleh) gerak, sedangkan gerak adalah perubahan objek-objek yang menempati ruang, karena waktu bersifat transitif terhadap perubahan alam, tidak ada perbedaan antara "ruang" dan waktu, tetapi ruang yang dimaksud bukanlah ruang dalam pengertian 'adat (yaitu ruang yang ditemukan oleh pengalaman hissi), melainkan ruang yang ditemukan oleh 'akal, atau ditulis ruang-waktu (spacetime).

Waktu selalu mengalir ke arah positif. Dari kemarin menuju saat ini dikatakan berarah positif karena dengan aliran tersebut saat ini hadir dalam pengalaman kita setelah sebelumnya (kemarin) lenyap dari pengalaman. Tetapi ruang berarah negatif karena ketika ia ada, berikutnya ia lenyap dan digantikan dengan maojud yang baru. Dalil akal pertama terhadap gerak dan perubahan di alam adalah dalil waktu, yaitu waktu selalu mengalir dari saat yang lalu ke saat ini, dan dari saat ini waktu mengalir menuju masa depan. Dapat dikatakan bahwa peran waktu adalah sebagai medium yang mengantarkan kausalitas kepada tujuannya.

Perubahan, gerak dan medan kerja hukum-hukum kausalitas terjadi pada level pengalaman spasial (hissi/empiris). Di level akal bentuk ruang yang ditemukan adalah ruang-waktu, yaitu bentuk akal matematis. Dan level akal ini termasuk 'akal thobi'i yaitu akal yang menjiwai hukum-hukum kausalitas. 'Akal murni adalah akal yang tidak dipengaruhi oleh pengalaman spasial. 'Akal murni dapat menembus kausalitas sehingga disebut 'akal ghorizi.

Sebagaimana kausalitas, waktu juga memiliki tujuan yang dapat memperkuat argumennya sebagai medium. Tujuan dari waktu adalah gerak, berubah dan menampilkan kebaruan alam serta membawa unsur paling murni dari alam yang tetap tidak berubah sepanjang ia dapat mengetahui hukum-hukum kebaruan alam serta mengetahui adanya pencipta alam yang terbebas dari sifat-sifat baru yang ada di alam. Unsur paling murni dari alam semesta ini adalah intisari dari alam, yaitu akal ('aqlu). Yaitu karena adanya waktu (ruang-waktu) ditemukan oleh akal, dan termasuk wujud ‘aqli mumatsalah. Artinya keberadaannya menyerupai wujud ‘ady ruang (spacelike) yang baru. Oleh karena itu wujud waktu juga baru (hadits). Tetapi adapula waktu yang terdeteksi oleh hissi, sehingga jejaknya ketahuan ada dan dapat diukur oleh pengalaman, yaitu disebut wujud ‘ady waktu (timelike).

Hikmah

Dengan filosofi tasbih seperti dikemukakan di atas, seseorang akan memandang alam semesta ini bukan sebagai benda mati melainkan hidup bertasbih kepada Alloh (sabbaha lillah) dan senantiasa bertasbih kepada Alloh (yusabbihu lillah). Seorang yang berfilosofi tasbih akan senantiasa menjaga bumi dari keruksakan, menghormati bumi, dan memperlakukan bumi sesuai dengan apa yang dikehendaki bumi yaitu pada hakikatnya adalah bertasbih kepada Alloh.

Tasbih dalam terminologi agama berarti menjauhkan Alloh dari segala sifat kekukarangan dan kelemahan, otomatis membersihkan Alloh dari segala sifat baru (haadits) yang ada di makhluk. Berenang menjauh dalam aliran waktu berarti memurnikan pikiran, yaitu meluruskan jalan pikiran dengan akal yang murni untuk bertauhid kepada Alloh seraya mensucikan segala sifat-sifat di Alloh yang tersentuh oleh pikiran manusia. Menurut ahli tasawuf, pikiran manusia ada diantara akal dan syahwatnya. Dengan memurnikan pikiran lewat akalnya, manusia akan menemukan pencipta alam yang terbebas dari segala kekurangan dan ketidaksempurnaan, sekaligus akan membersihkan si pengucap dari kekotoran yang membuat dia terbias atau melenceng dari gerak tasbih alam semesta. Dengan bertasbih, para musabbih (pengucap tasbih) menghadirkan kemurnian akal dalam benaknya seraya mengucapkan : Subhaanalloh. Maha suci Alloh, kami semua adalah makhluk yang senantiasa goyah, berubah dan baru. Maha Suci Alloh, karena Dia lah yang Maha Sempurna, Pencipta langit dan bumi, yang membuat kami hadir di sini atas kehendak-Nya, berubah dan bergerak atas kehendak-Nya, dan atas perinyah-Nya pula kami hadir di sini mengenal Alloh dengan jalan bertasbih. Sabbihisma Robbika al-A'la.

Wallohu A'lam

(Penulis : hilman.pas@gmail.com, sumber : prmana.blogspot.com)

0 komentar:

Posting Komentar